- Back to Home »
- Cerpen »
- Kopi Cokelat - Kunang-kunang di Manisi
Posted by : Diyon Prayudi
Senin, 21 September 2015
Kunang-kunang terlihat
nampak jelas dari rooftop, Manisi. Selaras masa depan mampir di antara
gelas-gelas kopi hitam dan cokelat panas. Meski langitnya sedikit mendung namun
tak menampakkan bila hujan akan datang. Karena hujan hanya sebatas semiotic
kesedihan dan kunang-kunang masih saja menarik untuk diperbincangkan. Malam itu
angin sedikit membuat badan terasa gemetar karena dingin. Namun kopi dan
cokelat yang mereka genggam membuat segalanya menjadi hangat.
“Mana kotamu?” tanya
Kopi.
“Kotaku di sebelah sana!”
dengan menjinjitkan kaki dan telunjuk yang berusaha menggapai kota yang
dimaksud. Akhirnya Cokelat berhasil menggapainya.
Kopi heran dan terdiam
lurus sejenak ke arah kerumunan kunang-kunang. Sensor matanya bergerak terlalu
fokus mengikuti kerlap-kerlip cahaya kuning bergerak lambat. Dia berpikir bahwa
di sanalah tempat kebahagiaan di mana gelap menjadi terang dan sendiri menjadi
ramai. Dalam keadaan hati yang kosong siapa saja pasti akan berpikir demikian.
Jauh sebelum malam itu
Kopi memang senang sekali bergadang. Hampir setiap malam jari jemarinya
berdansa anggun dengan sebidang huruf qwertyuiop dan beberapa lembar
sajak-sajak salon. Penyair salon merupakan penyair yang berbicara tentang sajak
anggur dan rembulan, terlalu melow dan dipastikan akan klise. Kopi tak sepekat
kopi. Ketika berbicara hati maka hatilah yang digunakan. Bukan masalah takaran
3-2 atau 3-1 atau bahkan 3-0 karena itu akan menambah rasa pahit yang teramat.
Jika ingin sedikit manis maka tambahkanlah gula.
Dia banyak belajar
tentang cara membuat kopi yang baik dari teman gurunya. Namun dalam hal tulis
menulis gurunya lebih pandai dalam mendeskripsikan apa itu sure realist dan apa itu tentang menulis dari hal-hal yang kecil,
kopi misalnya. Kopi tahu betul cara membuat kopi yang baik. Mula-mula dia harus
menanam terlebih dahulu benihnya dalam sebidang tanah. Kemudian membiarkannya
tumbuh menjadi pohon. Setelah pohonnya berdaun ia mulai menunggunya gugur dan
berganti dengan daun-daun yang lain. Setelah daun-daunnya mulai rindang, panas
dan hujan silih mengisi di waktu yang bergantian, hingga saatnya pohon itu
berbunga ‘Pohon Kopi’ lalu ia berdoa kepada alam agar kopi yang dihasilkan
tumbuh dengan baik, barulah Kopi memetiknya.
Sebelum membuatnya ia
mencari segelas air bersih, kemudian dimasukkannya ke wadah yang sudah digarang
api. Tidak langsung dimasukkannya ke dalam, tapi Kopi menunggunya hingga air
mendidih, setelah matang barulah dimasukkannya bubuk kopi yang pekat, ditunggu-tunggunya
hinga kantuk bertandang, setelah kopi dan air intim dalam wadah hingga hitam
yang pekat barulah tahap kedua diselesaikan.
Sampai di situ saja
tidaklah cukup. Itu hanya baru dinamakan air kopi, belum cocok dinamakan kopi.
Perihal menyatunya air dengan bubuk kopi terlalu klise dan umum, semua orang
dapat membuatnya bahkan berkali-kali lipat jumlahnya. Sebelum kopi menjadi air
kopi pastikanlah airnya mendidih matang-matang, pastikan pula garangan api yang
tidak padam karena jika padam kopi dan air tidak akan menjadi abadi dan menghasilkan
nama yang baru yakni ‘kopi’ dan hanya sebatas air kopi saja.
Kemudian barulah
tambahkan gula secukupnya. Misalkan, masukkan tiga sendok kopi dan dua sendok
gula, atau masukkan tiga sendok kopi dan sesendok gula, atau bahkan bisa saja
masukkan tiga sendok kopi tanpa gula. Semua peluang dan harapan mungkin saja
terjadi seperti dalam pelajaran matematika di sekolah mengah pertama: katakanlah
A itu sebagai kopi dan B sebagai gula, maka hasil yang akan didapatkan adalah–A-B,
B-A, A-A, B-B, dan kemungkinan untuk A-B-C adalah nol. Itu yang dinamakan
dengan ketidakmungkinan atau mustahil.
Ketidakmungkinan kopi
yang dihasilkan akan memberikan kecemasan bagi penikmat kopi. Yang diinginkan
adalah kopi yang bisa diminum dengan hati yang puas.
“Ini bukan kopi!” kata
teman gurunya.
Kata-kata itu yang dia ingat
ketika bibirnya yang tebal bersentuhan dengan bibir cangkir yang tipis. Raut
mukanya mendadak kecut dan tangan kanannya memegang gagang cangkir lalu
diletakkannya di atas meja. Kemudian beliau menyilangkan kaki kirinya tepat di
atas kaki kanannya, diambilnya sebatang rokok dan dibakarnya. Asapnya mengepul
hingga tebal di muka, dan sejak hari itu Kopi menjadi penikmat kopi.
Kini Kopi tahu mengapa
kunang-kunang selalu hadir di sepanjang malam. Dan rooftop merupakan tempat
terindah menatap masa depan.
“Kotaku di sini!” jawab
Kopi.