- Back to Home »
- Novel »
- CHAPTER I
Posted by : Diyon Prayudi
Senin, 21 September 2015
Zb 10, Bandung 2012. Ketika matahari hampir
seperempat gala, sepenggal plot terangkai dari beberapa jumlah kursi lipat yang
belum kuhapal berapa jumlahnya. Belum kuhapal warnanya, berapa jumlah spidol
yang tertata rapi di garis horizon papan white
board, dan satu penghapus berwarna biru yang hampir rusak.
Tak ada kapur tulis. Tak ada kapur bagus. Tak ada
semut yang harus dipenjara dalam lingkaran mantan. Ah, mantan? Biarlah berlalu
seperti hujan yang menghapus lingkaran kapur bagus. Biarlah semut hitam itu
hidup. Semut hanya memerlukan gula yang cukup banyak untuk persediaan musim
hujan. Ketika hujan lebat pastilah semut merasa kedinginan. Pastilah semut
menggerayang dan merayap di dinding kesendirian. Takkan ada lagi kapur barus.
Takkan ada lagi kapur bagus. Takkan ada lagi kematian.
Kemudian dari sederetan kursi lipat aku menyelinap.
Aku mengendap-endap melalui kaca jendela kusam. Nampaknya di luar sana udara
lengang hingga gunung terlihat jelas. Berkabut. Pekat. Seperti kopi hitam dan
gula ketika panas. Seperti mantan dan gebetan ketika ganas. Semuanya panas. Mungkin
karena itulah kopi diminum ketika panas. Rasanya lebih nikmat dan memberikan
gairah bagi penikmatnya.
Semuanya larut dalam kenangan. Semuanya hanyut
bersama angan. Tenggelam dan karam. Seperti sisa-sisa memori yang tertinggal di
dek kapal adegan terakhir tragedi kapal Titanic yang kutonton di layar lebar
kala hajatan tetangga. Memori yang ingin sesekali kuformat karena dalam bagian
terakhir yang kuingat hanya adegan berciuman. Tak pantas untuk anak ingusan
sepertiku mengingatnya berlarut-larut.
Mantan hanyalah cangkang yang tak berdaya ketika
ditinggal pergi penghuni lama. Kuyakin rumah baru segera hadir setelah
perjalanan panjang. Dari pojok kursi lipat barisan depan selembar kertas
berestafet. Satu persatu menuliskan nomor ponsel dan lugu memperkenalkan diri.
Sumedang, Cianjur, Karawang, Purwakarta, Majalengka, Indramayu, Jambi, Bekasi,
Jakarta, Tasik, Garut dan Bandung.
Dua belas tahun ke belakang Bandung merupakan negeri
impian. Udaranya sejuk, bahasanya luwes, gadisnya cantik-cantik, kota yang
menarik, kota seni dan budaya, banyak seniman yang lahir dari Bandung. Band
penomenal Peterpan–Ada Apa Denganmu pun lahir di Bandung. Aku jatuh cinta
dengan Bandung.
Situ Patenggang salah satunya. Danau kenangan masa
kecilku. Di mana suasana sejuk dan membuat damai hatiku. Aku pernah menjamahnya
dan berlayar di atasnya. Melihat situ peninggalan sejarah. Kata orang: di
sinilah tempat Ki Santang dan Dewi Rengganis bertemu setelah lama terpisah
dalam sulitnya perjalanan cinta, Batu Cinta. Ah, Cinta. Makan pakai nasi dan
lauk pauk, ditambah sambal goang[1],
bukan cinta. Namun aku tak ingin menodai sejarah. Aku menghargainya karena di
danau dengan ketinggian 1.600 meter dari permukaan laut itu aku bahagia.
Andai saja makan dengan cinta, lauk pauk sandang
pangan papan takkan pernah terbeli. Semua orang pasti mati kelaparan. Semua
orang pasti mati kedinginan. Semua orang akan mati. Aku pun demikian, untung
saja aku belum mati. Kutuliskan dengan rapi dalam buku catatan "aku takkan
mati sebelum melihatmu mati" dengan pena merah melingkar seperti bentuk
hati yang sempurna. Aku pun tersenyum lebar, mengingat-ingat apa saja yang bisa
kuingat kembali. Apa saja.
Aku mengingatnya. Bandung. Kota impian sejakku kecil
dan masih ingusan. Tahun 2009. Bandung mulai padat merayap hingga akhirnya
merapat karena macet. Jalanan tak lagi lengang, sebentar maju dan sebentar
berhenti. Klakson dan deru mobil saling sahut menyahut. Matahari di siang
bolong sebagai saksi perseteruan mobil antik dan modern yang berbagi gas monoksida
kepada alam. Kepada manusia.
Tukang asongan menjamur. Preman dan calo mewabah.
Mungkin pemerintah tidak menyelenggarakan KB ketika itu, tak jualah dengan kota
kelahiranku yang lebih dahulu demikian. Semuanya serba pendatang. Kotaku memang
kota rantau, semua orang boleh datang. Semua orang boleh mengadu nasib. Semua
orang berhak hidup.
Setidaknya di tahun itu aku masih menemukan Bandung
yang hening dan sejuk, Maribaya. Tempat yang asri dan rimbun. Di dalamnya jua
ada goa peninggalan sejarah. Rumornya goa tersebut adalah peninggalan Jepang-Belanda
dalam masa invansinya. Goa kesunyian untuk para Romusha. Tempat di mana aku dan
sahabat terbaik menghabiskan sisa waktu sebelum kami berpisah, MOC 2009[2].
Aku senang bersahabat. Sedari kecil temanku begitu
banyak. Pepatah mengatakan “banyak teman banyak pula rejeki”. Aku kurang
sepakat. Karena banyak teman uang jajanku yang sedikit dari Ibu berkurang.
Karena banyak teman kami pun jarang jajan. Namun karena banyak teman juga aku
merasa tak sendirian.
Aku jadi ingat ketika usiaku menginjak empat tahun.
Waktu itu Ibu merupakan makhluk yang sangat kutakuti. Segala sesuatu tentang
Ibu kunilai jahat, menakutkan, dan – ya, begitulah. Aku pernah diangkatnya dari
teras depan rumah hingga sumur timba yang tak jauh dari tempatku merengek
meminta jajan kala Ibu membersihkan halaman.
Dipegangnya kedua lenganku. Diangkatnya dan aku
meronta. Bengis. Sadis. Seketika itu jua aku sudah berada tepat di atas sumur
dengan kedalaman yang aku pun tak tahu berapa. Aku hanya melihat lubang yang
begitu dalam dan gelap. Ibu yang geram sudah siap untuk mencemplungkanku ke dalam
rimba kematian. Ibu jahat. Jahat!
Namun bagiku sejahat-jahatnya Ibu ada lagi makhluk
yang lebih jahat daripadanya. Aku tak sekalipun mengenal sosoknya. Dia amat
menakutkan tak jauhlah dari setan gentayangan. Tak berwujud namun aku merasa
takut dan membuat bulu kudukku berdiri. Aku banyak mendengarnya dari tetangga.
Mereka selalu menanyakannya kepadaku:
“Kamu anaknya si Fullan ya?!”
“Ke mana Bapakmu?”
Biasanya aku hanya diam dan cengar-cengir[3]
saja. Aku tak tahu apa yang harus kujawab. Bahkan aku tak sekalipun melihat
perangainya. Selama aku hidup bersama Ibu aku tak pernah sekalipun melihatnya.
Di rumah, di sekolah, di tempat pengajian, di lapangan tempatku bermain pun aku
tak pernah sekalipun melihat si Fullan. Ibu juga tak pernah mendongengkannya
kepadaku sebelum tidur – yang kutahu hanyalah si Kancil, si Kura-Kura, dan si
Monyet. Ya, Monyet!
Belum genap setahun usiaku, aku sudah kehilangan
sosok Ayah. Aku hanya tinggal bertiga saja di rumah. Ibu, Nenek, dan Aku.
Nenek merupakan malaikat dalam kehidupanku. Ketika
Ibu mulai marah-marah Nenek selalu datang membelaku. Biasanya Ibu selalu marah
selagi ia tak mempunyai uang. Belum lagi karena aku tidak meminum ASI darinya
hingga Ibu harus mengeluarkan uang lebih banyak. Waktu itu aku tak mengerti apa
itu ekonomi. Apa itu uang – yang aku tahu hanyalah jajan dan bermain bersama
teman-teman. Itu saja.
Setiap pagi aku selalu bersama Nenek. Bangun tidur,
sarapan, ke sekolah, pulang sekolah, hingga senja berkalang petang aku
bersamanya. Nenek memang malaikatku. Apalagi saat aku tercemplung di empang di
belakang rumah Nde-ku[4]
ketika aku dan sepupuku bermain lempar bite[5].
Nenek begitu gesit dan sigap berlari bak kucing mengejar tikus. Semua perintang
ditabraknya. Cepat sekali aku diangkatnya sambil berisak tangis dan bau lumpur
seluruh tubuhku.
Kemudian diguyangnya[6]
aku di pancuran sambil menasehatiku. Aku tak begitu mendengarkannya karena yang
kupikirkan saat itu ialah sepupuku. Tega betul ia menertawaiku terbahak-bahak
tanpa bersungguh sedikitpun untuk menolongku. Padahal aku terjatuh pun karena
hendak mengambilkan bite miliknya.
Sangat disayangkan tiga tahun kemudian malaikatku
meninggalkan kami sekeluarga. Nenek meninggal kala usiaku menginjak tujuh
tahun. Waktu itu aku baru masuk sekolah dasar kelas satu. Aku tak mengerti apa
itu tangis atau kesedihan. Aku tak menangis sedikitpun – yang aku pikirkan
hanyalah bagaimana jika Ibu mulai marah sedangkan malaikatku terbaring kaku
dibungkus kafan. Kepada siapa aku meminta perlindungan. Saat itu yang kulakukan
adalah berdoa agar Tuhan mengembalikan malaikatku kembali. Namun tak berarti,
meninggal tetaplah meninggal dan takkan pernah bisa hidup kembali.
Setelah kepergian Nenek, barulah aku diasuh oleh
Nde-ku. Meski tak sepadan dengan perangai Nenek namun ia amatlah sayang
kepadaku. Menjaga, merawat dan mengakukanku sebagai anak ketika Ibu mencari
uang untuk keperluan kami. Begitu adil atas diriku diperlakukannya sama dengan
sepupuku atau anak kandungnya sendiri.
Setiap bangun tidur aku tak bisa lagi melihat Nenek
yang sedang mencuci piring, menyiapkanku sarapan, dan menemaniku ke sekolah.
Kini aku pun mulai tumbuh sendiri. Segala persiapan yang kubutuhkan aku mulai
menyiapkannya sendiri. Termasuk kebutuhan sekolah dan uang jajanku.
Dari kecil aku sudah diam-diam mulai menabung. Uang
jajan yang diberikan Ibu kusimpan rapi di bawah kasur tempatku tidur. Setiap
seminggu sekali barulah kutengok dan kuambil untuk kubelikan barang yang hendak
kubeli bersama teman-teman. Memang aku tak seberuntung lainnya yang bisa
membeli barang yang dikehendakinya setiap saat dan kapan saja. Mereka punya
uang. Aku memiliki keinginan dan keyakikan.
Takaran bocah seumuranku aku pun senang sekali
bermain. Di sekolah kami bermain gundu. Biasanya kami lakukan sebelum masuk,
ketika masuk, bahkan selepasnya pun kami melanjutkan di rumah. Biasanya kami
bermain di rumah Pak Rt yang kebetulan ia saudara dari Kakekku.
Di pelataran yang luas untuk ukuran rumah adat
Betawi kami lebih banyak menghabiskannya untuk bermain. Rumah adat betawi yang
memiliki peseban yang luas, bentuk rumah yang khas, dan halaman yang rimbun
dengan pepohonan: nangka, belimbing, melinjo, pepaya, jambu, rambutan,
kedondong, tekokak, singkong, bengkuang, ubi, hingga rerempahan seperti kunyit,
sereh, lengkuas, daun salam, dan banyak tanaman obat-obatan.
Di kampung halamanku memang begitu lengkap. Semuanya
ada dan tersedia dari alam karena kuasa Tuhan. Kami takkan cukup kelaparan
meski tak punya uang – tinggal pergi saja ke pekarangan dan mengambil
bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat makanan. Jika kami sakit masih banyak
obat-obatan tradisional tanpa harus mengeluarkan uang, cukuplah pergi ke
halaman atau pekarangan dan mulailah meramu obat-obatan. Bahkan obat-obatan
kami tanpa efek samping dan takut keracunan. Makanan pun tak kalah manfaat baik
nutrisi maupun gizi. Buktinya kami masih hidup hingga sekarang di zaman
modernisasi yang bertekhnologi Jepang.
Aku memang anak kampung yang senang bermain.
Hari-hariku bermain. Diselingi pengajian agama, dan membaca buku beberapa jam
dalam sehari, biasanya aku membuatkan jadwalku sendiri karena aku hanya anak
kampung yang ingin hidup lebih baik. Kata guruku di pengajian aku hanyalah
cukup belajar dan berilmu maka derajatku akan diangkat oleh Tuhan. Untungnya
aku masih mengenal konsep beragama sejak kecil.
Dalam setiap permainan yang kuingat-ingat kembali di
tahun 90an akhirnya kuambil secarik kertas dan mulai kutuliskan nama-nama
permainan apa saja yang dahulu pernah kami mainkan.
Name:............
Date:..............
Gambaran,
Gala Asin, Demprak, Bola Boy, Benteng, Sepedaan, Petasan Bulan Puasa, Mancing,
Nyari Ikan di Sawah, Tajoz, Tamia, Beyblet, X-Gear, Tamagochi, Tendo, Pletokan,
Slepetan/Ktapel, Makan di Atas Pohon, Yoyo, Tanggal, Karambol, Bulu Tangkis,
Tenis Meja, Kacang Panjang, Petak Umpet, Ontek, Enggrang, Layangan, Workmen,
Main Tanah Pake Air Kencing, Play Stations, Bikin Mobilan–Bikin Lilin Pake
Kaleng, Lompat Tali, Cici Goci, Gunting Batu Kertas, Duguduk Gutong, Gundu, Aku
Orang Miskin Kamu Orang Kaya Minta Anak, Puzzle,
Ternyata begitu
banyaknya kenangan di masa 90an. Mungkin saja aku adalah generasi terakhir
sebelum modernisasi dan tekhnologi Jepang mengambil alih dunia. Semua orang
berjalan merunduk dan seperti takut menatap masa depan. Aku pernah beranggapan
bahwa tekhnologi adalah perubahan budaya secara global dan banyak memberikan
manfaat besar untuk umat manusia. Semoga saja itu adalah kenyataan yang
bermanfaat, semoga saja.
Masa-masa sekolah,
masa-masa pengajian, dan masa kecilku yang amat bahagia berjalan sebagaimana
mestinya. Anak kecil hanya perlu permainan dalam kehidupan. Mereka tidak
memikirkan uang, tidak pun sesekali memikirkan masa depan, mau jadi apa kita,
akan jadi apa kita, dan bagaimana kita nanti, yang ada hanyalah jawaban –aku
ingin jadi insinyur Bu, aku ingin jadi dokter Mah, aku ingin jadi polisi Pah,
aku ingin jadi presiden Yah, dan masih banyak lagi jawaban.
Aku pun demikian,
ketika ditanya Ibu Sugi di sekolah aku menjawab jikalau besar nanti aku ingin
sekali menjadi insinyur. Saat ditanya aku tak tahu sedikitpun apa itu insinyur,
bagaimana kerjaannya, dan apa yang harus aku lakukan untuk menjadi seorang
insinyur. Untuk sekarang-sekarang ini terkadang aku pun menertawai diriku yang
dahulu, begitu polos dan bersih, tak ada sedikitpun jawaban yang hanya sebatas
keinginan, tanpa keinginanpun aku mampu menjawabnya. Toh, mudah sekali bukan
karena yang kupikirkan hanyalah bermain dan bermain.
Namun sejak 19 Juli
2003 aku pun mulai tumbuh dewasa. Jauh berbanding terbalik ketika adik
pertamaku lahir ditanggal 04 Agustus 1994, di mana aku masih memikirkan bermain
tanpa harus merasa khawatir bahwa esok kami tidak bisa makan karena kehabisan
beras. Aku pun tidak pernah memikirkan dan takut akan kelaparan.
Di bulan Juli lahirlah
adik keduaku. Kedatangannya di dunia begitu memberikan kebahagiaan yang sangat tercermin
di muka kedua orangtuaku. Namun tidak denganku, kedatangannya hanyalah akan
membawa keluarga kami dalam kesempitan, ketika aku tidak memiliki adik, Ibu
selalu garang acap kali aku meminta jajan, kemudian lahirlah adik pertamaku
hingga akhirnya kami sekeluarga harus menghemat beras dan persediaan makanan,
belum lagi ketika Ibu sudah marah-marah karena aku hanya bermain dan bermain
saja. Saat itu dunia sepertinya tidak adil bagi bocah sepertiku. Aku ingin
jajan. Aku ingin bermain.
Perubahan yang memang
sangat signifikan. Jika digambarkan diagram maka garis akan meranjak meningkat,
melewati titik demi titik ditiap tahunnya. Setidaknya setelah kelahiran adik
keduaku hidup keluarga kami menjadi lebih baik, dan kekhawatiranku berubah
menjadi kasih sayang yang teramat kepada mereka. Aku pun mulai berubah.
Perubahan kecilnya
adalah aku tak lagi memikirkan bermain dan bermain, setidaknya sejak itu aku
mulai banyak membaca buku-buku pelajaran, pengajianku pun masih berjalan, untuk
bermain –ya, aku pun masih bermain bersama teman-teman. Semuanya kulakukan
dengan seimbang tanpa harus menghilangkan yang seharusnya kujalani. Masa muda
adalah masa bermain –dan, memikirkan masa depan.
Perubahan besarnya
adalah rumah kami yang semakin sempit. Belum lagi barang-barang yang berlebihan
–dan tidak layak pakai ada di mana-mana. Semuanya serba jadul meski zaman mulai
berubah menjadi modern. Aku tidak benci modernisasi. Dan aku pun tidak terlalu
menginginkan modernisasi. Itu hanya kepentingan mereka sebatas perut. Buktinya
keluarga kami masih menghutang beras kepada tetangga. Dan masih banyak
keluarga-keluarga yang lain yang tidak makan karena kehabisan beras. Belum lagi
keluarga yang tidak terdata secara diagram. Pasti banyak sekali di luar sana.
Hingga 11 Juni 2006 keluarga
kami bertambah. Adikku yang ketiga lahir ke dunia dengan selamat. Semua
keluarga berbahagia. Kecuali aku –ya, aku. Pikirku aku adalah anak kesayangan
orangtua, kemudian lahirlah adik-adikku satu persatu, hilanglah kasih sayang,
hilanglah uang jajan, ekonomi keluarga melemah, kebutuhan semakin bertambah,
modernisasi makin menggila. Barang-barang mahal, kebutuhan pangan juga
ikut-ikutan mahal, semuanya mahal. Untung saja kentut tidak bayar.
Waktu ia lahir posisiku
tengah ada dipenghujung sekolah. Sebentar lagi aku akan menginjak ke SMA, dan
adik pertamaku di SMP, adikku yang kedua baru mulai masuk sekolah dasar, dan
adikku yang terakhir sibuk dengan susu, dengan bubur tim, ngompol di mana-mana,
nangis di sembarang jam, pagi, siang, tengah malam, kapanpun ia mau nangis
–menangislah.
Aku tidak pernah bisa
membayangkan betapa sulitnya keluarga kami dalam masalah keuangan. Ibuku bukan
lulusan sarjana ekonomi. Bapakku bukan bos yang punya banyak karyawan. Dan aku –aku
apa, hanya anak pertama yang mempunyai tiga orang adik dan sekarang masih
sekolah, masih minta uang jajan dan banyak keperluan ini itu dan segala
macamnya.
Pernah ketika kecil aku
memakan nasi dari beras merah. Kira-kira tahun 98 ketika Soeharto sedang marak
diperbincangkan. Masa di mana Indonesia mengalami ‘krisis moneter’ dan keuangan
keluarga ikut-ikutan keteter. Segalanya rumit dan sulit. Bapakku hanya bekerja
sebagai pembuat rak bambu. Ibuku bekerja hanya sebagai buruh pabrik Korea yang
bukan main pelitnya. Aku bisa apa –hanya mengikuti takdir dan memakan ampas
roti yang gagal diproduksi sebagai ganti jajananku, biasanya Bapak membawanya
ketika pulang dari tempat usaha temannya.
Ekonomi keluarga kami
memang selalu rumit. Untung saja Ibuku pandai-pandai mengaturnya untuk
kehidupan sehari-hari. Meski pendapatan Bapakku terbilang tidak menentu, namun
kami masih bisa makan meski dengan lauk pauk yang seadanya. Biasanya aku sering
mencari bibit pohon bersama teman-temanku di tempat pembuangan sampah yang
sudah mulai membusuk. Aku pun mencarinya dan kuambil untuk dipindahkan di halaman
rumah. Jaga-jaga bila sudah tumbuh besar hasilnya akan dapat kurasakan.
Asalkan ada nasi buat
keluarga kami terbilang cukup. Karena sudah kubilang kampung halamanku ini
terbilang subur dan dianugerahi kuasa Tuhan. Untuk membuat lauk pauk aku hanya
perlu pergi ke kebun dan sekitar halaman rumah –mengambil sedikit buah pepaya,
memetik daun melinjo, memetik beberapa daun belimbing asam, untuk pedas aku
tinggal memetik cabai di sekitar halaman rumah, biasanya juga bisa ditambahkan
dengan buah cecek[7],
kuambil sedikit tomat yang sudah masak, tidak lupa juga untuk memetik beberapa
daun singkong yang masih muda, dan Ibu merubahnya menjadi sayur yang bergizi
dan menggugah selera. Tentunya makananku ini lebih sehat dan tidak berkolesterol
tinggi.
Dalam masalah makanan
aku pun tidak pernah takut bila akan kekurangan gizi dan nutrisi. Selain menanam
keluargaku pun beternak. Banyak ayam-ayam kami yang bertelur dan bisa juga
untuk disembelih sebagai bahan masakan. Biasanya Ibu mengambil beberapa telur
untuk dimasak. Dan aku pun selalu membawa ikan setelah pulang dari sawah –sawah
adalah tempatku bermain dan mencari ikan. Bisa dibilang sawah merupakan
tempatku menghabiskan waktu bersama teman-teman. Sangat jauh berbeda dengan zaman
modernisasi di mana sawah-sawah berganti menjadi bangunan, petani kehilangan
lahan, dan anak-anak kehilangan tempat bermain.
Bila dipikir-pikir hati
takkan sampai untuk kembali di masa itu. Kini segalanya telah membaik –keluarga
dan juga pendidikan. Aku pun telah masuk SMK, alasan pertama adalah untuk
mendapatkan pekerjaan ketika lulus sekolah, alasan kedua adalah aku ingin
melanjutkan pendidikan hingga kuliah. Namun itu masih teramat sulit –aku masih
memiliki tiga tanggungan yang harus diringankan. Semuanya seperti mimpi bila
berbicara mengenai masa lalu. Aku pun takkan pernah menyangka keluarga kami
telah berhasil melewati masa-masa sulit dengan baik.
Tidak sia-sia selama
tiga tahun menempuh pendidikan akhirnya aku pun berhasil menjadi kebanggaan orang
tua. Aku bekerja. Setelah lulus aku direkrut perusahaan Jepang yang telah
memodernisasikan dunia. Ketika itu aku pun berbahagia. Sangat. Terlebih waktu
itu aku memiliki kekasih. Lengkap sudah segalanya. Keluarga, pekerjaan, dan
kehidupan pribadiku lengkap. Waktu itu aku merasakan lengkap dan dunia terasa
indah.
Masa-masa di mana
semuanya terlena karena hidup berkecukupan. Aku pun lupa dengan pendidikan. Aku
ingin kuliah. Kini waktuku tersita untuk uang, untuk pacaran, dan
senang-senang. Pernah sesekali teringat tentang keinginan yang kuat untuk
berpendidikan tinggi namun karena kesibukan mencari uang hilang begitu saja. Seperti
waktu yang menjawab ketiadaan. Aku pun tiada karena sesuatu yang terlupakan. Pendidikan.
Butuh tiga tahun bertahan
dalam zona nyaman. Rumah–perusahaan–rumah– perusahaan pacar–rumah pacar–pulang
ke rumah–perusahaan–perusahaan pacar–rumah pacar– nonton dan makan-makan–rumah–perusahaan
dan seterusnya keadaan normal hingga dua tahun bertahan. Setelah dua tahun
akhirnya kontrakku dengan perusahaan selesai. Waktu itu aku jadi pengangguran
meski hanya bertahan selama lima bulan.
Selama masa
pengangguran aku tidaklah kesepian karena kekasihku teramat pengertian. Tidak hanya
itu, ia sangatlah baik dan penuh kasih sayang. Tidak pernah terlintas darinya
untuk pergi karena ekonomiku yang mulai melemah. Wajar-wajar saja biasanya tiap
bulan kami selalu bepergian namun kini hanya diam di rumah karena takut tidak
bisa jajan. Desi menerimaku apa adanya. Dia menemaniku menuju karir yang lebih
baik hingga aku diterima bekerja kembali pada perusahaan China.
Mei 2012. Bulan di mana
aku kembali untuk mencari uang. Tak henti-hentinya dalam hidup selalu berbicara
tentang uang, uang, dan UANG! Aku bosan dengan uang. Uang hanyalah sebatas
kenyataan yang dapat diperjual belikan. Makan pakai uang, minum pakai uang,
nonton pakai uang, telponan pakai uang, dan mati pun masih saja pakai uang.
Uang adalah segalanya. Aku
tidak ingin menaifkan diri bahwa pendidikan sekalipun membutuhkannya. Sore itu
Ibu datang menghampiriku dan memberikanku sejumlah uang yang cukup untuk dipakai
selama empat tahun hingga wisuda. Uang yang selalu kuberikan kepadanya kini
diberikannya kembali untuk keperluanku mengejar cita-cita. Saat itu aku bingung
bukan kepalang. Tak hanya senang, hatiku pun sedih karena cinta harus kutinggal
pergi. Meski sulit aku pun melakukannya.
Agustus 2012. Aku pun
resmi menjadi mahasiswa. Kini impian tak lagi sebatas imajinasi belaka. Aku nyata.
Aku ada karena ketiadaan. Meski sedikit sulit untuk menghapus sisa-sisa memori
tentang dirinya aku mulai terbiasa dengan kehidupan yang baru. Kehidupan mahasiswa
yang sejak dulu aku yakini ada dalam kehidupan keluarga sederhana.
Aku pun hening dalam
diam. Tanganku masih memegang erat pulpen berwarna merah. Aku tidak
membencinya. Aku terpaksa melakukannya. Ini bukan lagi menyoal cinta dan
kesetiaan. Ini masa depan. Aku berbicara kepada sesuatu yang masih patut
dipertanyakan. Ke mana aku akan pergi. Namanya kini terukir begitu rapi. Tatapanku
semakin kosong dan tak bertepi. Entah apa yang harus kulakukan dalam keadaan
ini. Menyoal percintaan aku hancur tanpa sisa.
Mantan hanyalah
cangkang yang tak berdaya ketika ditinggal pergi penghuni lama. Aku pun
demikian takkan pernah berdaya. Jarak kota kami kini berbeda. Meski hati mulai
merasa terbiasa aku tetap mengingatnya karena masa lalu adalah sejarah yang
mebuatku gagal move on. Dia
mengajarkan kepadaku bahwa ketiadaannya adalah berharga dan keberadaannya
adalah harus dipertahankan. Apapun yang terjadi.
Keadaan kelas yang
diisi pendatang dari berbagai kota nampak ramai dan antusias. Semua orang
mendengarkan dengan baik satu persatu yang maju ke depan.
“Nama saya Dian
Hadianti, saya dari Cililin Bandung Barat, dulu sekolah di MAN Nurul Iman”
katanya.
Aku masih mengingatnya
begitu jelas detik-detik perpisahan kami di balkot rumahnya. Matanya begitu
sendu. Malam jahanam. Langitnya pun muram. Hujan pun datang bergemuruh di
antara dua dunia. Duniaku dan dunianya.