- Back to Home »
- Essay »
- “Nasib Seorang Pendengar Setia“ karya Jujur Prananto
Posted by : Diyon Prayudi
Minggu, 03 Mei 2015
Diyon Prayudi, 1B, 1125030076
Dalam kisah
ini di ceritakan tentang seseorang yang menjadi korban curhat sekaligus lelucon
yang membosankan Bapak Darsono adalah staff ahli dari Bapak Imaludin. Dan pada
cerita Darsono sakit dan di rawat karena sering sakit dokter berkata tidak
sanggup lagi karena penyakit Darsono yang mampu menyembuhkan adalah dia sendiri
dan dokter mensanyakan kenapa dengan keadaan darsono.

Karena
Darsono merasa tidak enak karena Imaludin adalah atasanya akhirnya dengan berat
dia selalu mendengarkan lelucon bos nya itu meskipun tidak lucu lagi baginya
tetapi dengan keadaan seperti itu dan siapa saja yang ada di posisi Darsono
tidaklah mudah karena dalam hati pasti ada beban dan rasa berontak untuk lari
dari kenyataan, darsono juga sempat berkeinginan mengundurkan diri dari
perusahaan tempat dia bekerja itu namun dia mengurungkan niatnya untuk keluar
dengan berbagai alsan yaitu Perekonomian keluarganya kelak, Masa depannya
kelak, Anak-anaknya di kemudian hari dan akhirnya Darsono pun sakit karena
beban dan rasa tertekannya itu terhadap
lelucon atasannya sendiri yang membosankan itu.
Darsono masuk
rumah sakit karena atasasnnya, dia merasa menderita menjadi seornang pendengar
setia yang membawanya pada tekanan batin saja. Singkat cerita di rumah sakit
setelah Darsono mendengar nasehat dari dokter bahwa kesembuhannya adalah
berasal dari dirnya sendiri dia benar-benar berniat stelah dia keluar dari
rumah sakit dia akan mengajukan permohonan pengunduran diri dari perusahaan
tempatnya bekerja.
Setelah
keluar dari rumah sakit Darsono bergegas ke perusaan dan berniat menemui
Imaludin namun dia mendapat kabar bahwa Imaludin masuk rumah sakit dan Imaludin
membutuhkan sekali Darsono untuk menjenguknya. Imaludin sakit dengan tubuhnya
yang mengurus dan muka memucat, kemudian darsono menjenguk Imaludin dan
orang-orang di sekelilingnya menatap Darsono penuh harapan agar kesembuhan
Imaludin yang sakit parah.
Dengan
perasaan kacau Pak Darsono mendekati Imaludin “ Saya Darsono, Pak “ Pak
Imaludin perlahan membuka matanya, disusul gemeremang ungkapan rasa syukur para
pembesuk.
“ Dar….”
“ Ya, Pak…? ‘
“ Kamu sering
naik kereta api.? “
Perasaan
Darsono pun berdesir “ Du;u sering, Pak..”
“ Kamu tahu
lelucon para penumpang kalau kereta berhenti terlalu lama.? “
Suara Darsono
tersendat di tenggorokan
“ Mereka
bilang bannya kemps “ di jawab oleh Imaludin sendiri sambil menatap Darsono
dengan wajar cerah dan pandangan berbinar, seperti berharap Darsono tertawa
akan leluconnya itu. Tetapi Darsono malah tegang dan merasa tertekan sementara
dokter dan para penjenguk mulai gelisah karena keadaan Imaludin melemah dan
matanya meredup hingga tertutup rapat, isak tangis beriringan berbaur dengan
doa-doa bernada khusyuk.
Darsono pun
melihat para dosen dan pembesuk seakan mereka menjadi senjata yang siap
menodongnya dan berharap banyak Darsono mau tertawa, dan akhirnya Darsono
tertawa sambil berkata “ ini yang terakhir” dengan tertawa sekuat-kuatnya.
Setalah tiga hari berlalu setelah Imaludin sembuh beliau pun menyematkan tanda
jasa kepada Darsono dalam sebuah upacara resmi yang di hadiri para wartawan
dalam dan luar negeri, setelah bersalaman Pak Imaludin menepuk bahu Darsono
sambil berbisik “selesai ini saya minta kamu ke kantor saya, saya punya lelucon
baru “.
Itulah kisah yang
di alami Darsono yang tertekan akan keadaan dan rasa tidak enak terhadap orang
lain hingga akhirnya dia sendir yang jadi korban dari orang lain, namun di
balik cerita ini adakalanya semua itu tidaklah buruk karena Darsono masih
mempunyai pekerjaan. Sungguh sial nasib Darsono yang mengalami kejadian itu,
meskipun dalam fiksi saya mebahas ini tidak menutup kemungkinan itu juga ada
dalam kehidupan sehari-hari.