- Back to Home »
- Essay »
- Era Digital Sebagai Alat Perang: Diyon Prayudi
Posted by : Diyon Prayudi
Rabu, 06 Mei 2015
Menurut
Dr. Wina Sanjaya (2007 : 163) mengatakan bahwa secara umum media merupakan kata
jamak dari “medium”, yang berarti perantara atau pengantar.
Begitulah
kutipan Dr. Wina Sanjaya dalam bukunya yang berjudul “Strategi Pembelajaran
Berorientasi Standar Proses Pendidikan.” Seharusnya media berperan aktif dan
positif dalam dunia pendidikan. Baik di instansi pemerintah maupun swasta.
Dalam negeri maupun luar negeri. Karena pendidikan merupakan perantara yang
baik dalam perkembangan sosial hidup bermasyarakat.
Di
era digital, media sosial menjadi sumber referensi yang banyak digemari
masyarakat. Selain mudah didapat, ternyata kebutuhan juga menjadi alasan klise
para pengguna. Hampir sebagian instansi pendidikan baik pemerintah maupun
swasta menggunakan sistem jaringan cepat saji. Karena tinggal ‘klik sana’ dan
‘klik sini’ data yang dibutuhkan akan cepat didapat melalu banyak sumber.
Coba
bayangkan berapa banyak sekolah dan universitas di Indonesia?! Lalu, bagaimana
dengan aktifitas pelajar dengan banyaknya tugas dan sebagainya. Tentunya
aktifitas mereka di era digital yang serba instan selalu berhubungan dengan
internet, dengan media sosial yang digunakan oleh kebanyakan pelajar. Internet
dan internet. Seperti kebutuhan minum dan makan, semua orang menggunakan
internet. Setiap hari, setiap saat.
Bbm,
Facebook, WA, Line, Instagram merupakan makanan favorit anak muda ‘kekinian’.
Setiap waktu mereka mengaksesnya kapan saja dan di mana saja. Bahkan ketika
dalam proses belajar di kelas sekalipun. Kebanyakan siswa melakukannya dengan
lumrah dan sudah biasa. Lalu bagaimana dengan belajar? Belajar sudah biasa,
yang penting hari ini bisa update status dan chatingan dengan teman sebangku
ngomongin dosen yang membuat kelas jenuh dan suntuk. Waw! Ke mana etika
bersopan santun? Bukankah pendidikan mengajarkan kita untuk bertingkah baik ke
siapapun?!
Banyak
referensi bacaan yang dapat membuat absurd paradigma seseorang. Kenapa absurd?
Jelas, karena siapa saja dapat ‘posting sana’ dan ‘posting sini’ sesuai
kebutuhan dan maksud tujuan. Bacaan apa saja dapat kita jumpai di internet. Dan
semua orang dapat membaca dengan leluasa di internet, media sosial. Siapa saja.
Tidak mengenal pangkat dan derajat. Asal memiliki koneksi jaringan siapa saja
bisa menikmati internet. Itu sudah lebih dari cukup.
Kalian
ingat pemilu 09 Juli tahun lalu? Ingat Prabowo dan Jokowi? Tentu kita semua
ingat dengan kedua tokoh capres yang membuat semua masyarakat Indonesia ‘greget’
selama masa kampanye. Semua orang sibuk, bahkan lebih sibuk daripada kedua
capres terpilih.
Selama
masa kampanye beranda facebook menjamur postingan hangat dan panas tentang
kedua calon. Pendukung Prabowo menulis kebaikan prabowo, pendukung Jokowi
menulis keburukan Prabowo dan sebaliknya. Tidak ada bedanya!
Semua
orang mendadak beralih profesi menjadi pakar politik. Postingan di sana sini.
Ada yang bilang jika Prabowo menjadi presiden Indonesia akan seperti ini,
seperti itu, dan sebaliknya. Ada yang mencaci dan mencerca, mengungkit masa
lalu kedua capres dan mencari-cari kesalahan untuk saling menjatuhkan. Siapa
saja bisa jadi pakar politik profesional di masa kampanye. Tinggal posting dan
posting saja.
Di
era digital aktifitas demikian sangatlah berbahaya. Karena dapat menimbulkan
SARA. Di era demokrasi dan hidup dalam modernisasi semua orang berhak bersuara,
berpendapat, dan memiliki kebebasan untuk melakukan apa saja. Termasuk posting
sana dan sini hingga memancing emosi dan amarah. Jika terjadi demikian ke manakah
peranan positif media sosial?