- Back to Home »
- Essay »
- Dewa Telah Mati
Posted by : Diyon Prayudi
Minggu, 03 Mei 2015
Diyon Prayudi, 1B, 1125030076
Tak ada dewa di rawa-rawa ini
“
Tak ada yang berkuasa lagi disini “
(
Isotopi Tempat - disini )
Hanya gagak yang mengakak malam hari
Dan siang terbang mengitari bangkai
pertapa yang terbunuh dekat kuil.
Hanya ular yang mendesir dekat sumber
Lalu minum dari mulut pelacur yang tersenyum dengan bayang sendiri
yang menarik laki-laki jantan dan pertapa
dan membunuhnya pagi hari
(Simfoni Dua, 1990: 19)
“
Hanya bawahan yang bersenang-senang karena tak ada yang berkuasa lagi “
( Isotopi Gerak - Bersenang-senang )
“
Waktu silih berganti kian begitu cepat “
( Isotopi Waktu - Silih berganti )
“
Sehingga mereka yang kuat pun mati beriringnya waktu “
( Isotopi Kematian - Mati beriringan )
Dewa telah mati di tepi-tepi ini
“
Tidak ada lagi penguasa di sini “
( Isotopi Tempat - Penguasa disini )
“
Hanya seorang kacung ( bawahan ) yang tersisa “
( Isotopi Orang – Hanya seorang yang
tersisa )
“
Yang hanya menikmati indahnya dunia ini semaunya “
( Isotopi Tempat – Indahnya dunia ini,
Pandangan – Menikmati indahnya )
Bumi ini perempuan jalang
“
Dunia ini hanya sekedar sandiwara yang penuh kemunafikan “
( Isotopi Sifat – Kemunafikan )
“
Yang merusak umat manusia termasuk laki-laki di dalamnya “
( Isotopi Kehidupan – Umat manusia )
“
Ketempat yang nista ini “
( Isotopi Tempat – Tempat yang nista )
“
Hingga tak ada masa depan baginya “
( Isotopi Kenyataan – Masa depan )
Kesimpulan yang saya
dapat dari puisi di atas bahwa kehidupan di dunia ini tidak jauh dari pemimpin
maupun siapa yang di pimpin, dalam hidup ini adakalanya bawahan sering sekali
tidak senang dengan atasannya. Mungkin di sebabkan berbagai hal entah itu hal
penganiayaan secara fisik maupun penganiayaan secara bathin, baik pemimpin dan
orang yang di pimpin memang saling berdampingan satu sama lain.
Dalam puisi ini di ceritakan tentang
seorang atasan atau pemimpin yang tidak di senangi bawahannya meninggal dunia,
dan setelah kepergiannya bahwa bawahan-bawahannya itu senang akan kematian dia
dan merasa mendapatkan kebebasan setelah kepergiannya. Hidup di dunia ini tidak
ada yang abadi melainkan hanya persinggahan sementara untuk jiwa-jiwa yang
lemah dan penuh kenistaan ini.
Sekarang seorang kacung pun ( bawahan
) merasakan kebebasannya yang tak lagi mendapatkan tekanan yang tak semestinya,
dia hanya menikmati sisa-sisa dunia yang nisata ini dengan bersenang-senang
sambil merasakan kebebasan yang nyata meskipun semua itu nyatanya semu, kini
tidak ada lagi yang harus di takuti dan tidak ada lagi yang yang harus di segani.
Dunia ini fana , dunia ini semua,
dunia ini hanya persinggahan sementara yang penuh dengan kenistaan hingga pada
akhirnya tidak ada lagi harapan dan masa depan yang nyata.