Posted by : Diyon Prayudi Senin, 13 April 2015

Tulisan ini telah kubuat sejak beberapa bulan yang lalu, hingga kematianku tiba.

Masih di bulan agustus. Mungkin juga september yang akan datang. Bulan masih saja sama, minggu, hari, jam, menit, bahkan detik. Namun hanya tahun yang membedakan selama bulan, minggu, hari, jam, menit, detik berproses. Yuph! Semua itu butuh proses. Proses itu butuh kesabaran yang besar. Setiap ada keinginan pasti akan ada jalan untuk mendapatkannya. ‘Segala sesuatu berawal dari niat’, kutipan itulah yang membuatku tegar dalam menghadapi kenyataan dalam hidup. Kini aku tidak lagi bingung untuk menetapkan pilihan.

Ketika kita berjalan hingga bertemu sebuah persimpangan. Hendaknya beristirahat sejenak sembari mengisi tenaga. Kemudian, memikirkan jalan mana yang akan kita ambil. Selama proses keputusan cobalah tengok kanan dan kiri sesekali dan bila perlu tataplah ke belakang. Kemudian diam sejenak, dan bulatkan tekad. Setelah itu tentukanlah pilihan berdasarkan keyakinan, pertimbangan, dan beberapa kenyataan. Dan berharap penyesalan tidak akan pernah datang. Walau pun datang, setidaknya keyakinan telah mengobati rasa kekecewaan.

Mungkin dalam parapraf yang ke tiga ini hingga seterusnya akan menjadi pembicaraan yang berbeda karena perjalanan waktu setelah melalui proses yang cukup panjang. Ketika aku mengingat masa lalu di mana aku menjumpai sosok yang kuanggap bidadari pagi. Ketika itu kulihat cinta menaungi jiwa yang rapuh tanpa penopang. Ketika tersentuh raganya niscaya akan hancur berantakan. Dan ketika itu aku tidaklah mati karena sosokmu yang kuanggap bidadari pagiku. Bidadari yang menyambung kehidupanku.

Waktu itu ketika kecemasan datang menghantuiku. Memanggil seluruh jiwaku seolah akan menyayat-nyayat kulitku yang teramat tipis. Semakin dalam sayatanya semakin terasa perihnya dan begitu aku melewati setengah sadar antara hidup dan kematian. Mataku gelap dan pandanganku tidak karuan. Badan lemas terkapar dan napas kembang kempis seolah aku akan mati saat itu juga. 

Pikiranku pun tak karuan memikirkan apa saja yang ada dalam otakku. Begitu bercabang dan berlarian kemana saja yang mereka suka. Saat itu yang kutahu engkau telah tiada karena kecelakaan yang membuatmu tak datang di pagi yang kuharapkan.

Tidak hanya itu, jauh sebelum kejadian yang hampir membuatku mati tanpa sadar. Ketika pagi di mana matahari begitu ceria di luar gedung yang telah mempertemukan kita. Kita, bukan hanya kau yang sudah kuanggap bidadari pagiku sejak pertama kali melihat. Banyak mata dan telinga yang saling menatap dan mendengarkan celoteh orang-orang asing yang baru saja bertemu dengan calon keluarganya di kota perantauan. Namun, hanya mata dan telingamu yang mampu kudengar dengan baik saat itu. Mungkin Tuhan yang mengatur semua itu karena memanglah diri-Nya yang maha memiliki segalanya. Aku bisa apa? Itu bukanlah keinginanku di mana aku menaruh hati pada bidadari pagi yang sejauh ini selalu kupertahankan.

Jika aku bisa menentukan takdir dari sepotong hati saat itu. Aku tidak akan melihat ke arahmu dan tidak akan menyimak perkataanmu. Tapi ini adalah perbincangan sepotong hati yang belum bertemu dengan sepotong hati yang telah diharapkan. Sepotong hati itu masih saja bersabar berharap segera akan terisi penuh. Mungkin dirinya sudah gila, atau memanglah sepotong hati yang waras dan setengah gila. Kegilaannya yang melampaui batas terkadang menjadi begitu tidak masuk akal. Namun tetap saja, mana mungkin ada orang gila yang mengaku jika dirinya sedang gila. Begitulah sekiranya sepotong hati yang pernah merasakan luka yang begitu dalam.

Aku tidak akan mengingatnya lagi begitu jauh. Ketika keegoisanku yang seperti belati kecil namun mampu menumbangkan ribuan nyawa manusia dalam sebuah peperangan. Tak pandang bulu, siapa saja bisa mati terkapar oleh sang belati yang kecil begitu tajam. Aku takkan mengingat lagi tentang hal itu, yang lalu biarkanlah berlalu bak orde baru yang telah menggantikan orde lama.

Sisa-sisa memoriku dikit demi sedikit kini mulai pudar beriringan waktu yang seolah menjadi malaikat kematianku. Setidaknya aku akan tahu kapan aku akan sakit, dan kapan aku akan mati. Aku tahu jelas karena merekalah yang sesungguhnya telah kuciptakan. Bagaimana mungkin orang hendak mati telah mengetahui bagaimana cara ia mati kelak? Aku tidak tahu, yang kutahu adalah perjalanan waktu yang sebentar lagi habis, dan hidupku tak lagi panjang.

Aku pernah membayangkan bagaimana aku akan mati, dan seberapa sakitnya kematian yang akan kurasakan. Ketika malaikat maut datang dengan berjuta rasa sakit yang kurasakan, aku tahu dia adalah penyelamatku, bukan berarti kematianlah yang aku inginkan, namun, memang waktuku telah habis untuk itu. Bagaimana mungkin meminum anggur tanpa cawan-cawan? Kurasa tidaklah jauh berbeda dengan meminum kopi panas pada cangkir, yang kuminum hangat-hangat, tanpa harus menyiksa diri.

Kini aku tahu apa yang harus kulanjutkan dari tulisanku. Seperti peramal saja yang mampu mengalahkan kuasa Tuhan, yang tahu kapan bencana itu akan datang, dan kapan seseorang itu akan sukses kaya raya.

Sesuai dugaan, ternyata kutersadar sedari lima bulan yang lalu, ketika cinta itu memang mulai memudar, bias, bias, redup, semakin meredup, hingga kututup buku tentang cinta yang telah kubuatkan untuk bidadari pagiku. Oh! Bukan, dia adalah bidadari pagiku, dalam sisa-sisa memoriku, karena sesungguhnya ada cinta yang telah lama kucampakan, dan kutelantarkan demi mempertahankan keyakinan, keyakinan seorang pria yang setengah sadar, setengah idiot, setengah mabuk, setengan hidup, dan

Sudah kubilang sedari awal, cinta itu sudah lama memudar, lalu mengapa aku masih saja bertahan? Aku bukanlah pria yang tak memiliki pendirian, tanpa komitmen, lalu mengapa aku tak mengelak atas cemoohan oranglain terhadap kegilaanku ini? Mengapa aku hanya diam dan tetap menjaga keadaan supaya terus stabil, aku ini bukan Tuhan, Tuhan ini bukan aku, aku tak memiliki kuasa apapun karena aku bukanlah peramal yang sok tahu.

Bisa saja kujelaskan terhadap cemoohan oranglain kepadaku. Bisa saja, bisa saja kubela diriku tanpa harus menyaikiti perasaan bidadari pagiku, bisa saja itu semua kulakukan, karena memang telah kulakukan, kujaga baik-baik semuanya akan baik-baik, bisa saja aku membela diri terhdap gunjingan orang tentang kegilaanku, kuceritakan bahwa cintaku untuk bidadari pagiku telah memudar sejak lama, bisa saja, namun tak akan pernah kulakukan, aku akan lebih memilih mati dengan rasa sakit menjemput maut yang menyayat-nyayat.

Jangan salah paham! Bukan dengan begitu aku ini sungguh tergila-gila, bukan itu, aku hanya memastikan seberapa jauh aku mencinta, seberapa tulus aku tak harus memilikinya, dan seberapa besar kesabaranku dalam menanti kematianku yang sudah kuperkiraan akan terjadi. Karena aku percaya akan semua kata-katamu, dan menutup rapat mata dan telingaku atas cemoohan dan gunjingan oranglain, apalagi orang-orang yang telah menghinamu, aku tak pernah mendengar semua itu dari oranglain, aku mempercayaimu seperti aku mempercayai diriku sendiri, bahkan jikalau kau berbohong sekalipun aku akan mempercayaimu, karena mempercayaimu adalah komitmen yang telah aku lakukan, hingga malaikat kematianku datang, dan tersenyum kepadaku, mungkin malaikat pun tahu kapan aku harus beristirahat.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Popular Post

Blogger templates

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © Diyon Prayudi -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -