Posted by : Diyon Prayudi Senin, 13 April 2015

Malam yang dingin, langit pekat. Mataku merah, kepalaku pusing dan jalanku sempoyongan. Mugkin karena malam itu aku sakit. Tak jauh berbeda dengan keadaanku yang seperti belenggu hingga menunggu malaikat maut datang menjemputku dalam kehampaan. Saat itu aku buta! Aku tuli!
“Gerimis?!” pikirku. “Yah! Memang gerimis! Malam ini sungguh hampa dan pekat!” “Aku harus bergegas!”

Kuberjalan sempoyongan seperti orang mabuk saja. Mana ada orang mabuk yang sadar jika ia tengah mabuk? Mungkin itu alusi yang beresonasi, atau substansi yang memiliki kadar ukuran seperti benda jatuh karena adanya gravitasi bumi. Hukum alam, yah kurasa hukum alam!

“Haha! Lucu, lucu sekali jika kuingat Bapak Gerson itu menasihatiku!”
“Nak! Benda itu akan selalu jatuh ke bawah karena adanya gravitasi bumi” ujarnya. Lalu kumenjawab “Hai, kau pak Gerson! Anak esde saja tahu betul tentang itu, lantas mengapa kau menasehatiku bak anak esde saja! Gurau saja kau ini pak!”

Pak Gerson itu memang senangnya mampir dalam otakku. Tapi, yasudahlah aku ingin cepat pulang dan terlentang di atas kasur butut yang kucuri sebulan yang lalu dari rumah Lurah Hormat, Aceng. 

Waktu itu gerimis dan malam pekat, semua sedang tertidur lelap, aku menyelinap dan banting setir keluar lewat jendela hingga kudapat tidur nyenyak.

Sama seperti malam itu, masih saja gerimis datang. “Ah! Gerimis masih saja datang, kenapa tak pulang saja ia hingga aku berjalan santai untuk beristirahat malam ini saja” pikirku.

Aku berjalan sempoyongan dan mataku mulai kabur, rabun seperti katarak, atau memang karena aku kurang tidur kemarin malam. Aku berjalan menelusuri lorong-lorong sempit yang banyak sekali tulisan anti korupsi dan nepotisme. Memang gang rumahku selalu saja ramai dengan seniman-seniman kampung yang unjuk gigi.

“Maling-maling kecil dihakimi! Maling-maling besar dilindungi! Kami punya harga diri hingga mati!” kira-kira begitu setelah kubaca tulisan berwarna merah di dinding rumah Pak Aceng, kebetulan rumah beliau ada di jalur gang rumahku.

Berjarak sepuluh meter dari tempatku berpijak, kulihat seseorang terkapar di sudut rumah Mbok Iyem, tetangga Pak Aceng. Lantas kuhampiri dengan sempoyongan dan pikiranku setengah sadar. Saat itu!

Setelah dekat sekali dengannya, kumelihat darah menyelimuti sekujur tubuhnya. Mataku lantas melotot, kututup rapat mulutku, alisku terangkat, mataku memicing, aku kaku dan gemetar! Aku panik dan gugup! Terlebih kondisi kepalanya yang pecah dan darah terus mengalir, bagian perutnya robek hingga ususnya sedikit terjuntai, darah terus mengalir bersama gerimis. Mataku nanar!

“Pembunuhan! Pembunuhan! Pembunuhan!”
Pikirku, lantas kumencoba untuk menenangkan diriku. Menarik napas perlahan dan kuulangi lagi dan lagi, hingga aku mampu berpikir sejenak.
“Ini pembunuhan! Jelas sekali ini kriminal!”
“Lantas siapa pembunuhnya! Akan kucari hingga ke ujung dunia sekalipun!” aku berteriak agar semua orang mendengar. Namun, tak satupun yang keluar rumah. Jalanan memang sepi sekali. Sepi! 

Malam pekat!
Dan kuingat betul percakapan mereka pagi tadi. Yah! Kuingat betul kejadian tadi pagi. Siapa lagi? Pasti dia orangnya!
“Kamu yang benar dong kerjanya! Bisa kerja nggak sih? Nggak becus!”
“Pak, saya hanya ingin menagih upah selama saya bekerja di rumah bapak!”
“Maaf saya sibuk! Lain kali saja! Kerja saja kau tidak becus! Sekarang mau upah! Kerja dulu yang benar!”

Tidak salah lagi, pasti dia pelakunya. Kuberlari ke rumah Lurah Hormat seketika itu dibarengi gerimis dan malam yang pekat. Kakiku gemetar, jantung berdebar, pikiranku kalut tak karuan. Dan kudapati rumah sepi tanpa penghuni. Aku berteriak histeris dari teras rumah, namun tak ada yang menjawab. Kucoba ketuk daun pintu sambil berteriak “Lurah Hormat! Keluar kau Lurah Hormat!” berulangkali kulakukan, namun tetap saja nihil.

Setelah lima menit kuberada di depan rumah Lurah Hormat, aku kembali ke sudut rumah Mbok Iyem. “Percuma saja kuberteriak hingga suaraku soak dan somplak!” pikirku.
Malam pekat, masih saja gerimis, dan jalanku masih saja sempoyongan. Kini kumelihat dua orang berada di sudut rumah Mbok Iyem, yang satu terkapar, dan yang satu lagi membungkuk tepat di atasnya. Aku pun bergegas menghampirinya tergapa-gapa.

“Kau rupanya! Kau pelakunya! Sudah kuduga, memang kau pelakunya! Dasar biadab!!” aku teriak histeris. Dan seketika gerombolan orang berbondong-bondong menghampiri kami. Ada yang membawa payung, ada yang masih memakai sarung dan kaos kutang, ada yang membawa parang dan cerurit, mungkin mereka mengira sedang ada yang kemalingan atau perampokan.

“Ada apa ini! Ada apa ini ribut-ribut” teriak salah satu warga yang membawa parang dan cerurit.
“Astaghfirullah.. tega sekali orang yang telah berbuat ini!” ujar warga lain yang hanya memakai sarung dan kaos kutang.
“Ada apa sih? Ada apa sih? Kok ribut-ribut? Kok ramai-ramai?” bisik antar warga.
“Ini dia pelakunya! Dasar biadab! Tak berperikemanusiaan!” teriakku.

Malam pekat, masih saja gerimis, mungkin langit sedang menangis. Mataku nanar, aku gugup dan gemetar. Aku tertegun dengan kening menyeringai, darah mengalir pekat, usus terjuntai dan kepala yang bocor.

“Bunuh saja! Bunuh saja pelakunya!” teriak warga yang membawa parang dan cerurit.
“Bawa saja ke polisi! Atau kita hakimi sendiri!” teriak warga lain.

Badanku semakin gemetar, darah mengalir deras dari ujung kepala hingga kaki, jantungku bergemuruh, aku tertegun kaku. Aku takut mati! Ya aku takut mati!!

“Astaghfirullah.. kasihan sekali, kepalanya bocor, ususnya terurai..” bisik warga.
“Bunuh saja pelakunya! Bunuh saja!” teriak warga ramai.

Pak Aceng tertegun menelan ludahnya. Matanya melotot menatap kematian, dan tak sanggup berkata sepatah pun. Warga mengamuk, gemuruh menderu, langit menggelegar seketika kilat menyambar-nyambar.

“MATI KAU!!!” parang dan cerurit buas memangsa sang Lurah Hormat.
“STOOP!!!” teriak pak Tua dari kejauhan.

Warga terperangah kaku, jinak sejenak. Gemuruh tak lagi menderu, langit tak lagi menggelegar dan kilat pun lenyap. Hening!

“Ada apa ini?!”
“Ada pembunuhan Pak! Ada pembunuhan!” teriak salah satu warga.
“Itu dia pelakunya Pak! Memang biadab!!” teriakku.
“Tega sekali ya pelakunya, kok bisa yah?” bisik warga.
“Tenang-tenang saudara-saudara! Sebaiknya kita selesaikan ini secara hukum! Kita tidak boleh menghakimi sendiri!” perintah pak RW.

“Ah.. pak Burhan tidak seruu!!” kataku.
“Hussh!! Jangan begitu! Jangan main hakim sendiri! Belum tentu pak Aceng yang bersalah! Lebih baik, kita kasih kesempatan pak Aceng untuk bicara!” perintah pak RW.
“Mana ada maling yang mau ngaku yah? Kalau ada maling yang mau ngaku, pasti penjara penuh!!” bisik warga.
“Yah pak! Mana ada sih maling yang mau ngaku!!!” ujarku.
“DIAM!!!”, “Silhkan pak Aceng bicara!” perintah pak RW.
“Terima kasih pak sebelumnya! Saya tidak tahu apa-apa pak, yang saya tahu ketika saya hendak keluar rumah untuk membelikan obat istri saya yang sedang sakit keras. Ketika saya keluar rumah, saya melihat sesosok terkapar di sudut rumah Mbok Iyem, dan setelah itu saya berlari untuk melihatnya, dan ternyata sesosok yang saya lihat terkapar itu adalah Mbok Iyem dengan keadaan yang mengenaskan seperti ini” pak Aceng menunjuk mayat.

“Ah!! Bohong!!! Aku tahu kau berpura-pura!!!” teriakku.
“Betul Yud! Saya tidak bohong!! Sumpah demi Al-quran!!”
“Bapak jangan bawa-bawa Al-quran!! Mana ada maling yang mau ngaku!! Sudah pak mengaku saja!!!” teriakku.
“Demi Tuhan Yud, saya tidak sekeji itu!!!”
“Lantas percakapan pak Aceng tadi pagi itu apa?! Bapak tidak mau memberi upah Mbok Iyem selama bekerja di rumah pak Aceng bukan? Mengaku saja pak! Pak Aceng pasti pembunuhnya!” teriakku.

“Demi Tuhan Yud, saya tidak sekeji itu!!! Adapun percakapan saya tadi pagi karena saya belum sempat mengambil uang untuk upah Mbok Iyem, dan kebetulan saya memang sedang sibuk!!”
“Sudah-sudah! Yudi, kau jangan coba-coba memprovokasi! Bisa-bisa malah kau yang terjerat hukum karena telah mencemarkan nama baik pak Aceng! Lebih baik kita dengarkan dulu penjelasan pak Aceng!!” perintah pak RW dan kemudian pak Aceng melanjutkan ceritanya.
“Memang pak RW, sebelum saya hendak keluar rumah. Saya melihat Mbok Iyem berdiri di depan rumahnya, dan sesaat kemudian datanglah pemuda yang berjalan sempoyongan, di tangan kirinya terdapat botol minuman, dan di tangan kanannya memegang cerurit menghampiri Mbok Iyem, dan setelah itu saya hendak berlari untuk menolong Mbok Iyem karena saya melihat mereka terlibat pertengkaran. Namun saya tidak berdaya karena istri saya meronta-ronta melawan penyakitnya, dan setelah istri saya mulai mereda lantas saya bergegas menuju Mbok Iyem, namun ketika saya sampai, keadaan yang mengenaskan ini yang saya temukan” pak Aceng sambil menunjuk mayat.


Malam semakin pekat, halilintar menyambar-nyambar bergelegar. Malam itu adalah malam kematianku terhadap ketakutanku. Badanku gemetar kaku, jantungku bergemuruh dan aku berada di sini. Di penjara!!!

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Popular Post

Blogger templates

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © Diyon Prayudi -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -