- Back to Home »
- Cerpen »
- Sandal Jepit
Posted by : Diyon Prayudi
Selasa, 18 November 2014
Sandal
Jepit
oleh
Sandal
Jepit
“Kenapa
sih lo pake nama itu?” kata teman gue, gue jengah banget tahu dengarnya. “Hah!
Kalo udah buka facebook males banget sekarang-sekarang ini” kata teman gue yang
lain, udah statusnya panjang-panjang kayak kereta, nyampah-nyampahin beranda
gue aja, terus nama pengarangnya itu yang bikin gue pengen muntah!#ketawajahat.
“Lo mau jadi penulis apa mau jadi tukang dagang?” kata teman gue yang lain
lagi, kalo mau jadi penulis pake alat kerja kantor buat brand nama lo! Jangan barang dagangan! Gimana sih, sewot! “Aduh!
Sumpah lo norak banget!” kata teman gue yang lain lagi, lagi, kenapa harus pake
nama itu kan ada yang lebih bagus kayak ‘Eiger’ atau apalah yang agak mahal
sedikit! Norak banget lo! “Ya ampuun! Karyanya sih oke, nama pengarangnya buat
gue enggak apa-apa, asik! Tapi buat orangnyaa, iiuuh enggak banget, tolong dong
diganti dulu mukanya!” kata teman gue yang lain lagi, lagi, dan lagi, sumpah
apa hubungannya tulisan, nama pengarang sama muka gue?! Koplak!
Kalo
dipikir-pikir semua omongan mereka memang ada benarnya. Gimana enggak jengah,
gimana enggak pengen muntah, gimana enggak sewot, gimana bisa gue dibilang
enggak mahal kalo ada nama yang lebih bagus yang pernah mereka dengar. Misal,
Raditya Dika dalam buku ‘Marmut Merah Jambu’ yang gue dapet pinjem dari teman
lama dua minggu lalu. Namanya bagus, ceritanya unik, gokil, sederhana,
bahasanya yang ceplas ceplos, tampang dongonya yang ngingetin ternyata gue juga
dongo, terutama kisah percintaannya yang telah menginspirasi gue buat belajar
nulis novel D&D yang kelak nama yang lagi kita bahas ini mau gue jadiin
nama pengarang novel yang belum tentu menarik itu! Tapi bro! Inget! Inget kalo
gue bukan Dika, sambil ngangkat barbel dan berasa mau gue lempar sama yang
lewat, #senyumlicik.
Gue
jadi ingat sama teman gue yang selama ini belum pernah punya pacar, gebetan sih
banyak. Dia pernah bilang gini ke gue “Be yourself bro!”, lo kalo mau dapat
pacar atau gebetan lo harus jadi diri lo sendiri, jangan jadi orang lain. “Nah,
kenapa lo masih jomblo?” tanya gue, dan kemudian plak! Aduuh! Sakit gila,
kenapa lo pukul kepala gue#diacumabengongmeratapinasibjones.
Gue juga ingat
banget pas teman gue mau nembak gebetannya. Semua keperluan untuk acara nembak
sudah siap. Tempat, calon pacar, hadiah, saksi-saksi, kata-kata indah bagai
sang penyair, tapi satu yang teman gue lupain. Yups! Menyikat gigi! Alhasil si
calon pacar pingsan bukan karena surprise ditembak di depan banyak orang, dapat
hadiah bagus, dan kata-kata indah yang mebuat melayang, tapi bau mulutnya yang
tak karuan!
Tapi, yasudahlah lupain aja!!
Gue
masih ingat betul ketika buku perdana gue terbit, meskipun yang jadi penerbit
gue sendiri. Dan yang jadi pembeli juga pembaca gue sendiri juga, kadang-kadang
ada juga yang baca tapi pinjem. Di buku perdana gue itu pakai nama pengarang Di
Si Penulis dalam One Hundred Poems yang panjang banget sejarahnya kalau
diceritain. Sumpah enggak akan cukup ribuan halaman. Soalnya bingung mau
ceritain apaan sampai ribuan halaman. Nama itu terdengar dan terbaca begitu keren
buat gue. Kenapa? Karena nama itu lahir dari seorang perempuan yang super duper
nyebelin bin ngangenin bin ngegemesin. Gue memanggilnya ‘Cantik’ atau ‘Ian’
atau biasanya kita suka panggil ‘Nyebelin, Nyebeliin, Nyebeliin, sambil manja-manja.
#sumpahinifiksitermelow.
Buku
perdana gue itu menceritakan tentang kita berdua, enggak ada yang lain, yang
lain numpang! Numpang lewat kecuali pengalaman pribadi gue dalam kehidupan.
Gara-gara buku itu juga gue pernah jadi cowok romantis dan puitis. Coba
bayangin gue pernah ngasih bunga mawar tapi dibungkus pakai kertas kado yang
bermotif batik warna cokelat, kemudian gue kasih itu bungkusan di dalam bus,
gue selipkan sepucuk puisi di dalamnya dan... dan sebulan kemudian gue
menggalau ria hingga akhirnya gue menemukan si Sandal Jepit dalam proses
penyembuhan hati yang terluka. Meskipun kelak si Sandal Jepit akan gue gunakan
buat brand buku gue, tapi Di Si
Penulis tetaplah hidup! Hidup bersama cinta yang akan tumbuh suatu saat nanti. “Gue
enggak akan lupain semua memori tentang kita!” kata gue, idih... ternyata gue
lebay juga kelless!
Kira-kira
pertengahan Mei 2014!!
Gue
masih ingat benar omongan Dika dalam ‘Marmut Merah Jambu’ yang nyeritain
tentang Edgar adik kesayangannya yang suka dia buli. Setiap kali Edgar memiliki
keinginan dan tidak terpenuhi seringkali Edgar melorotkan celananya dan
menjulurkan tititnya yang belum disunat sambil bilang ‘Kasih titit nih! Kasih
titit nih! Kasih titit nih!’ kata Edgar begitu, dan semua masalah selesai
dengan mudah bagi Edgar (Dika, Raditya. Marmut
Merah Jambu. Jakarta: Bukune, 2010 hal:45). Tapi sekali lagi, gue ya gue!
Bukan Dika dan bukan juga Edgar, atau Dika yang mencoba seperti Edgar ketika di
kampusnya karena telat mengumpulkan tugas kuliah. (hal:46)
Gue
bisa bayangin juga kalau gue coba trik Edgar setiap kali berkeinginan dan dalam
masalah. Pastinya urusan akan mudah dan cepat selesai, namun malunya itu yang
takkan pernah usai. Entah dari mana asalnya. Namun masalah itu datang di minggu
pertama bulan Mei. Selama seminggu itu gue terus kehilangan sandal di
kos-kosan. Karena uang yang tak mencukupi untuk sebulan akhirnya gue beli lah
Sandal Jepit berwarna hijau karena ukuran kaki gue yang pas di warna hijau.
Waktu itu gue ingat betul kalau gue ngurusin buat acara di tanggal 07 Juni 2104
untuk acara A Day with Poetry yang
acaranya berjalan keren banget dan sukses! Namun tiga minggu sebelum acara itu
gue dan teman-teman sempat nonton pertunjukan teater di aula lama universitas.
Yuph!
Tanggal 12 Mei 2014 acara pagelaran teater itu diselenggarakan. Dan kebetulan
dari dua pertunjukan itu yang paling gue ingat adalah ‘Bulan jeung Kerupuk’
yang menceritakan sepasang suami isteri (Ipeh dan Jalu) yang berkhayal pergi ke
bulan. Seminggu sebelum gue nonton, gue sempat ikut latihan Dramatisasi Puisi – The Wreck of The
Hesperus by Henry Wadsworth Longfellow. Waktu itu gue pakai celana panjang
dan kaos, juga Sandal Jepit butut yang gue punya. “Fokus dong! Dasar Sandal
Jepit!” kata salah satu teman gue, lo mentang-mentang panitia jadi
malas-malasan. Kebetulan waktu itu memang gue panitia jadi gue enggak marah,
dan enggak akan marah karena memang gue juga yang salah. “Tahu tuh! Si Sandal
Jepit butut lagi gas to the law” tegas salah satu teman gue yang lain, waktu
dia ngomong yang gue inget itu lebah dan alay! Gue jadi inget masa lalu,
tentang hancurnya kisah cinta sahabat gue yang pacaran selama enam tahun, terus
putus, dan sebulan kemudian pacarnya menikah dengan cowok yang baru dikenalnya
sebulan. #mirisbanget. “Sandal Jepit butut aja punya pasangan” kata teman gue
yang lagi gas to the law, jangankan sandal jepit butut, sandal jepit yang
warnanya beda atau ukurannya beda juga masih bisa dipasangkan, sahut teman gue
lagi. “Benar juga!” pikir gue.
Malam
itu langit cerah, penuh bintang, dan bulan bersinar, dan suasana hati gue
semerawut kayak benang kusut! Keadaan yang jauh terbalik. Dari kosan gue
berangkat jam setengah tujuh karena acara dimulai jam tujuh. Seperti biasa, gue
hanya mengenakan jelana jeans, kaos tangan panjang, dan Sandal Jepit butut
kesayangan gue. “Lama banget sih, dasar Sandal Jepit!” kata teman gue,
kebetulan kita memang sudah janjian sebelumnya. “Sorry!” sahut gue. “Halah!
Palingan si Sandal Jepit Butut mah gas to the law lagi” kata teman gue yang lain,
sumpah suasana malam ini begitu terasa hambar dan pahit kaya es teh manis pake
asem. Kemudian, selama pertunjukan pikiran gue kemana-mana. Dari gue mulai
mikirin acara tanggal 07 Juni, mikirin tugas kuliah, mikirin ikan gue di kosan
sudah makan apa belum, mikirin teman gue yang lagi gas to the law, sampe
mikirin hal-hal yang enggak penting kayak: mikirin yang enggak dipikirin,
mikirin orang yang enggak mikirin, mikirin kalo gue mikirin apa enggak mikirin,
dan waaah, semua tentang mikirin. Sampai acara selesai dan enggak terasa yang
lain sudah pada bubar. Kemudian gue jalan pulang, sendirian!
Selama
perjalanan pulang gue masih aja mikirin semua hal. Tentang buku perdana gue Di
Si Penulis, tentang romantis dan sok puitis gue sama si Cantik, tentang ke gas
to the law an gue yang suka curhat sama teman dekatnya, tentang kegalauan dan
kebodohan gue, tentang acara a day with
poetry, tentang latihan dramatisasi
puisi, tentang buku Dika, tentang buku Gibran, tentang buku Psikologi,
tentang kuliah dan tugas-tugas, tentang ikan gue yang belum makan, tentang kosan
gue yang belum dibayar, tentang teman gue yang lagi galau, tentang kesendirian
gue karena pulang sendiri ke kosan, tentang pertunjukan Ipeh dan Jalu di aula, tentang
nasib gue buat sarapan besok pagi sebelum ke kampus, tentang buku binder gue
yang sudah mau habis, dan ketika gue berhenti sejenak! Gue teringat sebuah
diksi kecil, aha! “Sandal Jepit” kata gue, posisi gue lagi di gang arah kosan
dan gue senyum-senyum sendiri terus disangka orang aneh, disangka enggak bukan
aneh, dan kemudian gue bergegas pulang karena takut disangka orang gila!
Satu
yang gue inget saat itu, kebahagiaan lahir dari kesederhanaan di mana cinta
akan tumbuh melalui kesederhanaan itu. Enggak ada yang rumit, dan enggak ada
yang muter-muter. Dan, gue teringat kata-kata teman gue yang sudah diputusin
pacarnya dan kemudian si ceweknya menikah dengan pacarnya yang baru dikenalnya
sebulan. Yuph! Sandal Jepit butut aja punya pasangan, sandal jepit yang berbeda
aja masih bisa dipasangkan, dan semua itu terlihat dan terdengar begitu
sederhana, yang penting sesama sandal jepit. Bisa dibilang, lo suka, gue suka,
kita jadian! It’s simple isn’t? Kemudian gue teringat dengan kata-kata teman
gue yang banyak gebetan tapi belum satu pun jadi pacar “Be yourself bro!” benar
banget, gue harus jadi diri gue sendiri seperti kesederhanaan Sandal Jepit yang
gue pakai, jangan pikirkan apa kata-kata orang lain! Selama itu baik dan
positif, why not? Let’s do it! Dan di malam itu, pada tanggal 12 Mei 2014 telah
lahir sebuah nama ke alam dunia “Sandal Jepit” yang sekarang gue pakai dalam
setiap cerita gue.