Posted by : Diyon Prayudi Selasa, 18 November 2014

Rumah Sakit: Di Si Penulis

“Astagaa! di mana aku sekarang?” dalam hening aku bertanya. Dari kaca jendela begitu terasa udara segar masuk. Di samping kananku hanya ada buah-buahan segar dan setangkai bunga mawar yang indah. Di samping kiriku ada seorang gadis yang terlihat cantik sedang berbaring lemas tak berdaya di atas kasur. Di sekitarnya banyak orang-orang yang terlihat begitu lelah menunggunya. “Mungkin mereka telah begitu lama di sini hingga terlihat begitu lelah” pikirku. Aku diam sejenak dan sedikit menghela nafas.
Entah apa yang ada di kepalaku. Tapi ini rasanya begitu sakit tak tertahankan. Ditambah lagi aku merasa ingin sekali buang air kecil. Aku berjalan sembari memegangi kepalaku dengan tangan kananku dan berjalan sempoyongan. “Suasana tempat ini terasa begitu sepi dan sunyi, apakah tidak ada orang lain di sekitar sini” aku bingung dan terus berjalan sempoyongan mencari kamar kecil.
“Hmm, mengapa tiba-tiba udara menjadi terasa dingin, suasana pun sepi dan hening, seperti hanya aku saja yang berada di sini” aku berjalan sambil melipat kedua tanganku karena merasakan dingin yang sangat hebat. Keadaan yang demikian dan jalanku yang sempoyongan membuat suasana menjadi sedikit mencekam. Sesekali aku berhenti dan menghela nafas karena masih belum menemukan kamar kecil dan kemudian aku kembali berjalan.
“Lorong-lorong ini rasanya aku pernah melewati sebelumnya, tapi kapan?” aku berhenti dan berpikir sejenak. “Rasanya aku memang benar-benar pernah melewati lorong ini, lukisan-lukisan yang ada di dinding, bangku-bangku, bunga-bunga yang ada di setiap sudutnya, dan jam dinding yang sekarang berada tepat di samping kananku, pasti di ujung lorong ini ada sebuah kamar kecil dan sebuah  mushola” pikirku mencoba mengingat-ingat kembali. Aku terus berjalan sempoyongan sembari memegangi kepalaku yang masih terasa sangat sakit.
Udara terasa semakin dingin dan suasana semakin sepi dan hening. “Sepertinya memang benar-benar hanya aku sendiri” pikirku sedikit merasa takut. Namun, entahlah mungkin ini hanya perasaanku saja. Lebih baik aku segera menemukan kamar kecil karena aku sudah tak tahan lagi ingin buang air kecil. Aku terus berjalan menelusuri lorong hingga akhirnya aku berhenti di sebuah ruangan.
Tiba-tiba terdengar suara seperti ada seseorang yang sedang menangis. Terdengar begitu sedih dan semakin keras saja. Aku terkejut dan bergetar dalam diamku. “Ss si si siaapaa?” ucapku pelan. Namun, tak ada yang menjawab ucapanku. “A a a apa a ada orang?” ucapku kembali. Namun hanya hening yang mencekam yang menjawab semua ucapanku. Aku merasa takut dan sedikit penasaran ada siapa di dalam ruangan itu. Mengapa tak ada jawaban yang terdengar dari ucapanku. Dengan hati penasaran aku buka pintu itu dengan pelan sekali.
“Ss si si siaapaa di di sana?” ucapku gemetar. Ketika aku membuka pintu aku melihat seorang gadis di sudut ruangan sedang menangis histeris. Entah apa yang membuatnya begitu histeris. Aku mencoba memberanikan diri dan mendekatinya. Dengan jalanku yang masih sempoyongan aku mencoba mendekatinya. Kini aku berada tepat di sampingnya dan aku mencoba menyapanya. “Ss si si siapa kamu, sedang apa di sini, mengapa menangis?” tanyaku kepadanya. Namun hening yang aku dapatkan di sini, dia diam tanpa sepatah kata pun. Aku heran, mengapa dia tak mau menjawab pertanyaanku. Dalam kebingunganku dan ingin buang air kecil yang tak tertahankan akhirnya aku pergi meninggalkannya.
“Mengapa gadis itu tak mau menyahut ketika aku menyapanya, apa ada yang salah?” aku berjalan bingung menelusuri lorong. “Sudahlah, lebih baik aku segera menemukan kamar kecil dan segera kembali” pikirku yang tak mau diambil pusing. “Mungkin di ujung sana aku dapat menemukan kamar kecil, lebih baik aku bergegas” sambil menahan rasa sakit yang kian menjadi aku berusaha bertahan.
“Akhirnya!!” kini aku sedikit lega ketika sampai di depan ruangan. ‘Toilet’, aku membacanya tepat di atas pintu dan aku segera masuk. Kulihat di hadapanku terdapat dua pintu. Pintu yang sebelah kanan bertuliskan Woman dan pintu yang sebelah kiri bertuliskan Man. Kemudian aku segera masuk ke pintu yang ada di sebelah kanan.
Tidak jauh dari pintu itu terdapat sebuah ruangan yang diberi sekat seadanya. Di atas pintunya terdapat tulisan ‘Mushola’.
“Aaahh, legaaa!!” setidaknya keadaanku sekarang lebih baik dari sebelumnya walaupun sakit di kepalaku masih terasa menyiksa. Aku segera meninggalkan ruangan tersebut dan bergegas untuk kembali karena suasana di sini terasa begitu sepi. Namun ketika aku tepat berada di muka pintu, aku mendengar suara laki-laki yang sedang menangis sendu. Aku hening dan terdiam sesaat. “Suara siapa itu?” pikirku. “Sepertinya ada seseorang yang sedang menangis dari sana” tegasku sambil menunjuk ke arah mushola. Aku kembali penasaran dan mencoba untuk menghampirinya.
Perlahan aku menghampirinya sambil menahan rasa sakit di kepalaku yang masih belum hilang. “Oh, ternyata ada seseorang yang sedang shalat” pikirku ketika aku berada tepat di depan pintu mushola. “Tapi , mengapa ia menangis begitu sedih, sepertinya ia memiliki banyak persoalan, atau mungkin ia sedang berdoa untuk seseorang yang ia sayangi hingga menangis begitu dahsyatnya, tapi apakah ia tidak merasa takut sendirian berada di sini, tempat yang begitu sepi dan terasa mencekam” entahlah, mungkin aku harus segera kembali karena itu bukanlah urusanku, lagipula suasana di sini mulai membuatku merasa tidak nyaman. Kemudian aku berjalan menuju tempatku.
Kembali aku berjalan menelusuri lorong-lorong. Suasana semakin mencekam ketika suara angin bertiup kencang dan kilat yang yang menyala. Tidak lama kemudian turun hujan yang begitu deras dan guntur yang menggelegar. “Hujan?” pikirku. Namun aku terus berjalan dengan perasaan yang was-was karena aku takut sekali dengan kesendirian. Hujan semakin deras dan guntur sepertinya murka di luar sana. Aku semakin merasa takut setelah listrik padam dan hujan yang semakin deras.
“Aku tidak dapat melihat jika keadaannya seperti ini” pikirku dalam hati. Ditambah lagi aku tidak hafal dengan tempat ini. Semuanya terasa asing bagiku walau aku merasa pernah melewatinya. Hujan dan guntur di luar sana semakin menyayat-nyayat perasaanku yang semakin takut tanpa penerang. Terpaksa kini aku memapai tembok dengan penerangan dari kilat yang menyala. Sesekali berhenti untuk menghela nafas sambil menunggu kilat yang berikutnya agar jalan terlihat karena kilat yang menyala.
“Ya Tuhan, sekarang apalagi?” setelah kudengar suara tangisan bayi dan beberapa orang yang sedang mengobrol. Aku berhenti sejenak dan mengamati sekitar. Namun tidak kutemukan bayi maupun orang-orang di sekitar sini. Hanya ada aku dan ketakutanku di sini. Aku terus berjalan memapai lorong-lorong dalam gelap. Perasaanku semakin kacau tak karuan. “Aku ingin cepat sampai dalam peristirahatannku” hanya itu saja yang aku pikirkan saat ini. Dan kemudian gelap menemaniku dalam kegelapan.
Aku terus berjalan memapai tembok hingga kutemukan tempat di mana aku berbaring sebelum aku ke kamar mandi. Itu pun setelah kilat yang menyala dan ruangan terlihat jelas dengan mata. Kuhampiri perlahan, dan kini semakin terlihat jelas karena beberapa kali kilatan yang menyala. Aku berdiri tidak jauh dari ranjang di mana aku bisa melihat wajah pucat seorang gadis yang sedang dikerumuni banyak orang. Mereka sepertinya begitu lelah menemani sang gadis yang sedang berbaring di atas kasur.
Ketika petir menyambar dan kilat pun menyala, kulihat dan kubaca sebuah nama di ranjang tersebut. ‘Defitri Utami’ dan aku mulai ingat dengan laki-laki yang kujumpai di mushola. Sepertinya aku telah mengenal betul laki-laki tersebut. Postur tubuhnya, rambutnya dan suaranya mengingatkanku kepada kekasihku. Kekasih Defitri Utami yang baru kusadari gadis itu adalah aku.  

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Popular Post

Blogger templates

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © Diyon Prayudi -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -