- Back to Home »
- Cerpen »
- Prabowo dan Jokowi ikut Tahlilan
Posted by : Diyon Prayudi
Jumat, 27 Juni 2014
Prabowo dan Jokowi ikut Tahlilan
oleh
Sandal Jepit
Sekitar dua minggu yang lalu aku menyatakan diri untuk tidak
golput dalam pemilu presiden dan wakil presiden. Setelah menimbang dan
memikirkan berulangkali dengan menggunakan data-data yang lengkap dan akurat,
hingga akhirnya aku dapat memutuskan siapakah calon yang akan aku pilih pada
tanggal 09 Juli 2014 nanti, tentunya sebagai warga negara yang baik aku tidak
boleh sembarangan memilih. Karena ini menyangkut dengan kemashalatan umat
hingga 5 tahun yang akan datang. Meskipun aku tahu siapapun yang akan naik jadi
presiden, aku tetaplah aku dan tidak akan merubah keadaanku. "Memang om
Pra dan mas Jo itu siapa aku? Kenal juga tidak!" begitulah pikirku.
Sebulan sebelum aku memutuskan untuk tidak golput sebetulnya
aku memiliki banyak sekali alasan untuk golput dari pemilu presiden dan wakil
presiden tahun ini. Selain alasan yang barusan masih ada lagi alasan-alasan
yang sedikit lucu aku pikir. "Kupikir keduanya bukanlah calon pemimpin
yang baik, karena mereka memiliki masa lalu yang begitu suram di setiap
individu mereka masing-masing. Contoh saja kasus om Pra yang berkaitan dengan
penculikan 13 aktivis pro demokrasi dan pelanggaran HAM tahun 1998 dan juga
kasus mas Jo yang belum apa-apa jadi Gubernur DKI main minggat saja
menelantarkan Ahok dkk. Jakarta saja belum beres mau memimpin negara, ya mana
bisa.?!" mungkin karena tidak ada calon dan figur lagi selain mereka
berdua sampai-sampai negara yang besar ini mau dicoba-coba. "Buat negara
kok coba-coba. Katanya 'Bejo' katanya 'Indonesia Satu' kata siapa??
Mimpi!".
Alasan yang lain adalah setelah aku dinasehati oleh
seseorang yang begitu berarti dalam hidupku "Kamu pilih siapa di pemilu
nanti?", "Golput paling!", "Kok golput?" , "Ya,
habisnya kedua calonnya sama saja, sama-sama boneka, mereka cuma dijadikan
boneka sama Tante-tante dan sang Pengusaha besar", "Tau tidak?",
"Apa?", "Kita sebagai orang yang beriman seharuanya memiliki
kepedulian terhadap negara termasuk memilih salah satu calon presiden pada
pemilu tahun ini, memang mereka mempunyai kekurangan dan tidak menutup
kemungkinan mereka juga mempunyai kelebihan maaing-masing, selain itu juga kita
harus ingat bahwasanya golput itu merupakan perbuatan bagi orang yang tidak
memiliki keimanan, memangnya kamu mau dipanggil atheis?", "Ya,
tidak.!!" jawabku singkat.
Tapi yasudahlah, itu hanya beberapa alasanku saja dalam
keikutsertaanku meramaikan faham demokrasi. Memang tidak akan ada habisnya jika
membicarakan mereka berdua. Alih-alih berpartisipasi dalam menyuarakan
demokrasi, malah perpecahan yang kita temui. Apalagi jikalau sudah menyangkut
ideologi dan paradigma seseorang. Wah, bisa kacau balau persaudaraan yang sudah
lama terbangun dalam kedamaian. Seperti kasus yang terjadi di sebuah desa kecil
yang aman dan damai sejahtera. Tepatnya di sebuah kota pinggiran Jakarta.
Jadi begini ceritanya, "Semuanya berawal sejak malam
itu. Malam di mana semua warga berkumpul untuk bersilaturahmi dan memanjatkan
doa untuk almarhum/mah karena kebetulan waktu itu malam jumat. Biasanya warga
mengadakan tahlil dan tahmid bersama di rumah pak rt Mamat. Memang seperti
itulah rutinitas warga di desa yang kecil dan aman sejahtera itu. Apalagi bulan
suci ramadhan yang sebentar lagi hadir di antara kita semua. Wah, pasti
kegiatan kegamaan di desa kecil mereka akan menjadi lebih berwarna. Namun,
sangat disayangkan semenjak kejadian malam itu semua warga menjadi tidak akur
dan bersahabat karena aku pikir ini merupakan masalah yang sangat sepele dan
seharusnya tidak perlu terjadi.
Malam itu di rumah pak rt Mamat kami mengadakan tahlil dan
tahmid seperti biasa. Namun kali ini tahlil dan tahmid dipimpin oleh dua orang
yang menjadi tokoh agama di kalangan masyarakat setempat. Kedua tokoh agama itu
adalah Ustadz Rohman dan Ustadz Rohim. Ustadz Rohman saat itu bertindak sebagai
pembaca tahlil dan tahmid, sedangkan Ustadz Rohim bertindak sebagai penutup
atau do'a. Aku dan warga yang lain mengikuti tahlil dan tahmid dengan khidmat
bersama-sama. Ustadz Rohman dan Ustadz Rohim sangatlah kompak dalam tahlil dan
tahmid kala malam itu. Wajar saja jika mereka kompak, karena memang mereka
berdua adalah kakak-adik. Namun, tidak untuk beberapa menit setelah tahlil dan
tahmid selesai.
Saat itu aku yang sedang duduk sambil menyantap hidangan
yang telah disuguhkan, merasa heran mendengarkan perbincangan antara Ustadz
Rohman dan Ustadz Rohim dan juga para warga. Tidak seperti biasanya mereka
malah membicarakan pemilu presiden dan wakil presiden pada tanggal 09 Juli 2014
yang akan datang. (Biasanya juga membicarakan persoalan agama) pikirku saat
itu. Semakin malam semakin seru saja obrolan mereka hingga suasana menjadi
terasa begitu panas. Saat itu Ustadz Rohman merupakan pendukung om Pra dan
Ustadz Rohim merupakan pendukung mas Jo dan beberapa warga ada yang mendukung
om Pra dan ada juga yang mendukung mas Jo.
Ustadz Rohman berpendapat bahwa sosok pemimpin yang baik
adalah sosok yang memiliki kapabilitas, ideologi, dan sikap tegas, tidak lenjeh
seperti wong Bejo. Ustadz Rohman terus mengutarakan pendapatnya mengenai sosok
om Pra dan membangga-banggakannya di hadapan warga. Tidak hanya di situ saja.
Ustad Rohman yang saat itu sedang menggebu-gebu terus menjelek-jelekan lawannya
yaitu mas Jo hingga Ustadz Rohim juga angkat bicara. Di hadapan warga Ustadz
Rohim mengutarakan pemikirannya bahwa pemimpin yang baik adalah pemimpin yang
lahir dari rakyat, wong ndeso, karena jika nanti memimpin negara semuanya akan
kembali lagi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, bukannya untuk para
pengusaha.
Suasana terasa semakin panas malam itu ketika Ustadz Rohman
dan Ustadz Rohim saling beradu pendapat, pemikiran, argumen dengan data mereka
masing-masing dan di antara mereka tidak ada yang mau mengalah. Ditambah lagi
dukungan dari warga yang menjadi pecah dua, ada yang mendukung om Pra dan
membenarkan pemikiran Ustadz Rohman, dan ada juga yang mendukung mas Jo dan
juga ikut-ikutan membenarkan pemikiran Ustadz Rohim. Saat itu aku hanya diam
karena aku tahu siapapun presidennya aku dan mereka tetaplah miskin dan
melarat. Jadi untuk apa aku ikut-ikutan seperti mereka.
Kini malam semakin larut dan suasana semakin panas saja. Dan
kini bukan hanya Ustadz Rohman dan Ustadz Rohim saja yang berbicara. Namun,
seluruh warga dengan dukungannya masing-masing juga angkat bicara. Dan suasana
menjadi semakin panas, semakin kalut dan berantakan karena kali ini mereka
tidak hanya bicara melainkan mereka juga bertindak. Gelas, sendok, botol
kaleng, makanan (kacang, kwaci, semangka, jeruk, markisa, apel, salak) juga
ikut-ikutan bertindak.
Pecahlah suasana di malam itu dengan menorehkan satu korban
meninggal dari pendukung om Pra karena tertusuk sendok di kedua bola matanya
hingga kehabisan darah. Dan satu orang meninggal dari pendukung mas Jo karena
tertusuk pisau pemotong buah. Dan juga dua orang tersangka tindak kriminal yang
sekarang tinggal di penjara. Dan puluhan warga menginap di rumah sakit karena
luka-luka. Serta keluarga korban meninggal dunia yang kini resmi menjadi janda,
dan anak-anak yang tidak berdosa telah menjadi yatim karena kehilangan bapak,
juga keluarga yang tengah bersedih memikirkan uang untuk penginapan di rumah
sakit. Begitulah ceritanya"
Lalu apakah om Pra dan mas Jo setelah mendengar berita
semacan ini di kalangan masyarakat kecil dan kemudian mereka menjadi
bersahabat? Aku pikir tidak, tidak sedikitpun. Mereka tetap akan lanjut menuju
tahta tertinggi di sebuah negara demi kepentingan kelompok-kelompok mereka.
Kelompok-kelompok pengusaha besar, politikus yang kelakuannya seperti tikus,
Tante-tante yang penuh dengan obsesi dan ambisi, meraup kekayaan negara untuk
mengembalikan modal ketika masa kampanye, mengkhianati janji-janji kampanye
setelah mereka terpilih. Lalu dimana kita wahai masyarakat kecil yang tidak tau
apa-apa hingga kalian kehilangan nyawa.
27 Juni 2014 #cerita fiksi.