Posted by : Diyon Prayudi Rabu, 25 Juni 2014


Perjalanan Waktu
oleh
Diyon Prayudi
Perjalanan ini berbeda sekali dengan perjalanan-perjalanan sebelumnya. Sebelum kami sampai di Cirebon dan sekitarnya aku telah lebih dulu mampir bersama beberapa perwakilan kelas untuk meninjau lokasi karena aku merupakan salah satu dari bagian panitia yang mengurus semua ini.

Hari pemberangkatan survey tempat kami agak telat. Karena beberapa perwakilan kelas bangun kesiangan dan mandi yang antri karena jumlah penduduk kosan yang ramai. Dengan terpaksa rencana awal berangkat jam 6 pagi dari kampus tercinta malah ngaret satu jam lebih 15 menit kami baru berangkat.

Dalam perjalanan aman terkendali meskipun macet yang tak terkendali hingga 2 jam menahan sabar dari udara panas dalam mobil dan bunyi klakson di sana sini ramai ibarat konser musik yang megah. Lalu lalang kendaraan membuat temanku yang sedang menyetir untuk lebih fokus. Sedangkan indahnya pemandangan sedang aku nikmati dari dalam mobil yang lumayan gerah dan panas. Namun begitu, udara panas dalam mobil tidak menyulitkan untuk temanku tertidur pulas karena ia bergadang semalaman. Yah, begitulah keadaan macet yang membuat siapa saja menjadi malas untuk bercerita.

Dua jam telah berlalu, kini kami mulai menapaki jalan yang kurang bagus namun lalu lalang kendaraan yang mulai renggang. Jam digital menunjukan tepat di angka 12, kini kami telah sampai di perbatasan Cirebon dan Majalengka. Tepat di muka mobil kami mulai terlihat banyak lampu merah yang merupakan tanda bahwa kami telah sampai di pusat kota Cirebon. Seperti pusat kota yang lainnya, di sini terlihat ramai dan banyak kegiatan masyarakat setempat. Ada yang sedang berbelanja di Mall, pasar yang kotor, toko-toko perhiasan, kios-kios kecil, tukang parkir, tukang becak, para pengemis yang baris teratur dan berbagai jajanan khas Cirebon yang hampir setiap sudut gang terlihat plang dengan keunikan mereka masing-masing.

Begitulah perjalanan yang memakan waktu sekitar 5 jam untuk sampai di tempat aku dan rekan yang lainnya berdiri. “Keraton Kesepuhan” nama keraton yang kini tepat berada di hadapan kami. Terlihat dari depan bangunan masih sangat terawat. Di depan keraton terdapat lapangan yang tidak hijau karena rerumputan yang mulai mati karena gersang. Aku pikir itu adalah tanah lapang untuk tempat parkir bagi pengunjung yang membawa kendaraan umum seperti bus. Tidak jauh dari situ terdapat bangunan yang terbilang tua dan bersejarah selain keraton. Bangunan itu adalah sebuah masjid yang unik dengan pintu-pintu kecil untuk memasuki masjid. Keunikannya tidak hanya itu saja, di masjid tersebut ada keunikan yang lain berupa kumandang adzan yang dilantunkan oleh 7 orang secara bersamaan. Di sisi masjid terdapat sumur tua yang diberi nama dengan “Sumur Keabadian”. Namun sayang, sumur yang menjadi peninggalan bersejarah bagi penduduk setempat yang diwariskan sejak zaman nenek moyang seharusnya dijadikan sebagai kajian ilmu dan sesuatu yang lebih positif lagi dibandingkan hanya untuk memperjual belikan airnya demi kepentingan perut.

Setelah menunaikan kewajiban beribadah di masjid yang unik itu kami melanjutkan perjalanan ke Keraton Kesepuhan. Sebelum masuk kami membayar ticket sebesar Rp.5000,00,-/orang untuk satu kali kunjungan. Semuanya terlihat kuno dan bersejarah. Kanan kiri masih terdapat bangunan yang unik dan terbuat dari bebatuan saja. Dari sisi aku berdiri terlihat dua bangunan yang tidak terlalu besar. Bangunan pertama berisi lukisan seorang pemimpin keraton di masanya. Kendaraan ciri khas kerajaan. Silsilah garis keturunan dan sejarah singkat mengenai keraton. Sedangkan bangunan kedua berisi alat-alat musik dan alat perang. Alat-alat musik terdiri dari berbagai macam gamelan yang masih ada sangkut pautnya dengan Keraton Kesepuhan. Sedangkan alat perang terdiri dari tombak, busur, baju perang, pedang, bumerang, dan masih banyak lagi.

Semuanya memang terlihat tidak biasa karena kehidupan yang berbeda zaman jauh dengan era modernitas masa kini. Maka dari itu bagi siapa saja yang melihatnya pasti akan merasakan hal yang berbeda dan menarik hingga terciptanya nuansa baru bagi penikmat perjalanan. Secara psikologi memang begitulah rules yang seharusnya. Ketika tingkat kejenuhan seseorang dengan keadaan yang berulang-ulang seperti kegiatan sehari-hari maka ketika bertemu dengan nuansa baru akan timbulnya semangat yang menggebu.

Aku tengadah sendu melihatnya. Sesuatu yang baru aku lihat tidak seperti biasanya. Tempat ini sangatlah sepi pengunjung, mungkin hanya ratusan orang saja dan itu juga mungkin tidak setiap hari ramai. Bapak tua lusuh dengan rambutnya yang setengah botak di bagian depannya. Rambutnya yang mulai putih sedikit agak pirang dan matanya yang mulai menguning tak tega aku melihatnya. Baju yang ia kenakan begitu sederhana. Celana compang-camping seadanya dan baju yang mungkin belum dicucinya seminggu yang lalu, terlebih sandal jepit butut yang dikenakannya yang sebentar lagi pangkalnya akan putus. Di tangannya terdapat buku-buku beragam judul tentang sejarah setempat. Gaya bicaranya yang unik membuat aku melirik kepadanya. “Coy, buku coy buku coy” begitu teriaknya ketika langkahku berjalan melewatinya. Aku hanya tersenyum ramah kepadanya dan dia kembali berkata “Coy buku coy, coba lihat ini dulu bos, buku bagus bos, lihat dulu bos” sambil tersenyum malu ia menawarkan kembali buku-buku itu kepadaku. Lagi-lagi aku hanya tersenyum karena malu tidak dapat membelinya. Uang di saku celanaku hanyalah tinggal selembar kertas berwarna hijau dan mana cukup untuk perjalanan panjang hari ini.

Aku kembali fokus dalam perjalanan survey kami karena masih banyak hal yang penting yang harus kami selesaikan di tempat ini. Dari tempat ini kami akan meluncur ke tempat yang akan menjadi tujuan kami berikutnya, yaitu Pesantren Buntet dan Makam Sunan Gunung Djati. Namun sayang karena waktu yang tidak memungkinkan akhirnya kami memutuskan untuk menyudahi survey kami sampai di Pesantren Buntet saja dan tidak pergi ke Makam Sunan Gunung Djati. Di pesantren aku tidak menemukan hal yang menarik dan berbeda seperti ketika aku berada di keraton. Entah apa yang hilang, namun semuanya terasa biasa saja kala aku berada di pesantren.

Hari mulai gelap dan kami melanjutkan perjalanan pulang. Dalam perjalanan hanya gelap yang terlihat dari kaca mobil dan lelah yang menyelimuti perjalanan panjang kini mulai singgah dalam hati. Dalam perjalanan pulang kami ditemani dengan cuaca gelap dan rintik hujan seolah langit sedang menangis histeris dan tak mau berhenti. Aku hanya terdiam dalam mobil dan teringat sesuatu yang telah mengganggu pikiranku selama berada di keraton tadi siang. Apa yang aku pikirkan? Aku tidak tahu apa itu.

Kini semuanya telah  jelas. Hal yang aku pikirkan kala perjalanan pulang kini kembali hadir. Masih sama seperti waktu itu. Tempat di mana aku beribadah dan tempat di mana aku teringat dengan kusuh dan kumuh. Dengan buku-buku yang sama, baju dan celana yang sama, senyum malu yang sama, dan sandal jepit butut yang sama pula. Logat bicaranya yang khas “Coy, buku coy buku coy” begitu teriaknya dan sesekali menawarkannya kembali barang dagangannya “Coy buku coy, coba lihat ini dulu bos, buku bagus bos, lihat dulu bos” berulang kali tanpa bosan ia ucapkan.

Entah apa yang aku pikirkan saat ini. Namun yang jelas rasa ingin sekali aku berbincang dengannya. Kebetulan kegiatan selanjutnya adalah pengenalan lingkungan kekeratonan. Jadi aku memiliki waktu untuk menemukan jawaban dari pikiran yang selalu menggangguku. Tanpa pikir panjang aku mencarinya di setiap sudut keraton.

“Wah, ternyata di sana rupanya” dalam pikirku melihat celana compang-camping miliknya sambil menarik nafas panjang. “Bagaimana caranya agar aku berbincang dengannya?”, “Atau langsung saja to the point?”, “Ah, aku rasa itu bukanlah sikap yang santun jika langsung bertanya pada duduk permasalahan”, “Mungkin aku harus lebih bersikap sedikit sopan”, “Tapi, bagaimana cara?” dalam pikirku ragu.

“Coy, buku coy?” kembali ia menawarkan barang dagangannya sebelum aku sempat menyapanya. “Kebetulan, mungkin ini saatnya” dalam pikirku sambil tersenyum. “Berapaan Om?” tanyaku. “Murah Rp.7000,- bos” sahutnya. Belum sempat aku menimpalinya ia berkata “yang kemarin kan? Mana teman-temannya?”. “Oh, ternyata ia masih ingat denganku” pikirku. “Betul, satu bos, tapi yang mana ni yang bagus?” sambil memilah-milah buku dagangannya. “Semuanya juga bagus coy, dibeli semuanya juga gak kenapa-napa” guraunya. “Haha, bisa aja Om” aku pun ikut tertawa. “Oke, satu yang ini yah, Rp.7000,- kan, ini uangnya” sambil merogoh kantong aku mencobanya untuk mengakrabkan diri.

“Ngomong-ngomong udah berapa lama Om jualan?” tanyaku sambil menunggu kembalian darinya. “Terus Om aslinya dari mana, kok keliatannya sendirian jualan di sini? Emang gak ada yang lain selain Om yang jualan gitu?” penasaran. “Baru enam bulan, asli Jakarta bos, yah kalo masalah jualan emang di sini gak ada yang jualan soalnya pendapatannya juga emang enggak ada, paling satu dua orang yang masih bertahan jualan di sini termasuk ane”, “yah, beginilah yang penting kan halal uangnya” jawabnya. Aku sendu mendengar jawabannya. Melihat bajunya yang tak berubah dari sebelumnya, celana compang-campingnya yang masih setia, sandal jepit bututnya, matanya yang sedikit sayu, kulitnya yang mulai keriput karena di makan usia dengan rambut yang mulai memutih sedikit agak pirang dan logat bicaranya yang khas.

“Yah, enggak ada kembaliannya coy, punya uang pas?” jawabnya setelah mencari-cari uang receh dari penghasilannya hari ini. “Enggak ada Om, yaudah atuh Om jadi Rp.5000,- aj yah, kalo lima ribu ada ni” gurau ku kepadanya. “Yah, kalo gitu ane tekor donk, ini juga untungnya sedikit, soalnya ane ngambil dari orang juga” jawabnya sendu. “Oh gitu, ternyata bukan milik sendiri” dalam pikirku. “Yaudah, kembaliannya buat Om aj, semoga berkah Om” jawabku ramah. “Kalo penghasilan Om sedikit dari jualan, terus kenapa Om masih bertahan jualan, dari Jakarta lagi, terus makan gimana Om, keseharian hidup gimana, emang cukup?” tanyaku penasaran. “Yah, namanya juga usaha bos, yang penting cukup buat makan” jawabnya. “Terus buat tinggal gimana Om, kan bukan asli orang sini?” tanyaku. “Yah begitulah, untung ane ada temen kost bareng, jadi buat uang kost ane nebeng sama temen” jawabnya lagi. “Kenapa Om gak jualan di luar, kaya di toko gitu, kan untungnya lebih gede?”, “Terus kalo jualan di luar, yang jualan di sini siapa dong? Lagian kalo jualan di luar modalnya gede, belum lagi pendapatan yang gak nentu, yang ada malah tekor buat sewa tempat bos” jawabnya.

“Benar juga” pikirku. “Ternyata beginilah kehidupan melawan waktu, melawan hiruk pikuknya keterbatasan, begitu kerasnya hidup” dalam pikirku heran dengan apa yang telah kualami saat ini. Andaikan dia adalah aku, aku tak tahu apa yang akan aku lakukan. Begitulah perjalanan waktu, aku tahu melebihi ribuan kata-kata mu, aku tahu itu. Perjalananku kini telah selesai. Perjalananku melawan waktu. Entah kapan aku akan berhenti karena waktuku yang habis.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Popular Post

Blogger templates

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © Diyon Prayudi -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -