- Back to Home »
- Cerpen »
- Kakek dan Nenek
Posted by : Diyon Prayudi
Rabu, 25 Juni 2014
Kakek
dan Nenek
Oleh
Sandal
Jepit
Kakek dan nenek, dahulu kalian dalam hidup yang susah. Kalian tidak mengenal angka dan hitungan. Kalian juga tidak mengenal huruf dan bacaan. Kalian tidak mengenal kemewahan dan kekayaan. Kalian begitu tidak mengenal kendaraan, yang kalian kenal hanyalah sepeda ontel yang sekarang kalian wariskan dan kaki yang tidak pernah lelah menempuh jarak kiloan meter. Kalian tidak tahu apa itu politik, apa itu dunia. Yang kalian tahu adalah dunia kalian dimana semua orang hidup dalam kebersamaan dan gotong royong. Yang kalian tahu adalah hidup dengan saling berbagi dan menyayangi.
Kakek
dan nenek, dahulu kalian tidak mempunyai apa-apa. Tetapi kalian mempunyai
semangat yang hidup hingga kini (Aku).
Dahulu
keluarga kita bukanlah apa-apa, bukanlah siapa-siapa, tak mempunyai apa-apa,
mungkin dipandang sebelah mata. Memang begitu realitanya.
Dahulu
ribuan meter kalian tempuh demi segepok uang seratus rupiah-an untuk dapur
supaya tetap mengebul. Masih begitu ingat ketika nenek membuat sirihnya dan
mengunyahnya hingga bibirnya merah dan terlihat giginya yang mulai tanggal satu
persatu. Begitu jelas memori ketika kakek mengajarkan aku berkelahi karena aku
babak belur dalam berkelahi. Dan dia berkata "jangan mau kalah sama orang,
masa cucu jagoan babak belur di tonjokin cucu pecundang, hajar besok kalo
ketemu lagi" begitu perintahnya.
Kakek
dan nenek, kalian tetap hidup hingga kini (Aku). Ketika anak-anak kalian dalam
kesusahan beserta pasangan hidup pilihan Tuhan. Mereka juga hidup seperti
kalian, semangat yang sejati. Masih ingat ketika anak-anak kalian beserta
pasangannya mencarikan nafkah untuk cucu-cucu kalian. Mereka hidup dengan
segepok uang seribu rupiah-an dan beberapa uang logam. Anak-anak kalian pun
sama seperti kalian.
Menempuh jarak ribuan meter demi segepok uang seribuan.
Dan memikul rak bambu mengelilingi ibu kota yang panas dan terik. Anak-anak
kalian tidur di trotoar sambil menunggu mobil yang akan membawanya ke ibu kota,
dan mobil itu sangat langka hingga anak-anak kalian harus menunggu lama.
Kakek dan nenek, semangat kalian dan anak-anak kalian tidak akan mati dan akan
selalu hidup hingga kini (Aku). Dahulu kalian berjuang dengan tenaga yang
terkuras. Dengan air mata dan kucuran keringat. Masih teringat ketika salah
satu menantu kalian merasakan sakit dan terbakar pada pundaknya memikul rak
bambu mengelilingi ibu kota dan pulang tidak membawa segepok uang.
Masih teringat ketika salah satu dari putri kalian begitu kejam menyiksa aku
yang ingin meminta uang jajan demi membeli makanan yang di makan oleh
teman-temanku, dan aku hendak di ceburkannya ke dalam sumur kerek yang airnya
begitu dingin.
Masih
teringat ketika pasangan dari salah satu putri kalian memberikan jatah makannya
demi aku supaya tidak kelaparan. Dan kami memakan nasi merah dengan garam.
Kakek
dan nenek, terimakasih ilmu dan pelajaran kalian. Terimakasih semangat dan
kesederhanaan kalian.
Kini kalian tidak perlu khawatir. Anak dari anak-anak
kalian termasuk aku. Kini kami mampu berhitung dan membaca. Kini kami memiliki
kendaraan mewah untuk keluarga. Kini kami mengenal dunia. Kini kami hidup dalam
keadaan yang lebih baik. Kini anak-anakmu sudah tidak lagi seperti kalian yang
harus menempuh ribuan meter demi segepok uang seratus rupiah-an. Kini cucu
kalian dapat membeli makanan yang di makan oleh teman-temannya.
Kini cucu-cucu
kalian sudah ada yang sarjana, sudah ada yang menjadi pengusaha, sudah ada yang
sukses di dunia industri, sudah ada yang mempunyai mobil pribadi untuk
keluarga, termasuk aku yang sedang proses menuju sarjana.
Kakek
dan nenek, aku mengucapkan terimakasih kepada kalian. Tanpa semangat dan
kesederhanaan kalian. Kami bukanlah apa-apa, bukanlah siapa-siapa. Semangat dan
kesederhanaan kalian akan terus hidup hingga (Aku) dan aku dari aku dan sampai
aku yang terakhir.