- Back to Home »
- Cerpen »
- Jangan Takut Klise
Posted by : Diyon Prayudi
Jumat, 16 Mei 2014
Klise, mungkin kata ini telah menjadi
momok yang menakutkan bagi para peminat sastra. Terlebih bagi peminat sastra
bergenre sajak atau prosa. Bagi kaum awam pilihan diksi yang menggunakan bahasa
figuratif yang lumayan sulit untuk dimengerti dan harus buka kamus dalam
interpretasinya mungkin itu adalah suatu kerjaan yang memakan waktu dalam
apresiasi sastra. Memang pilihan diksi yang menggunakan bahasa figuratif yang
kompleks akan lebih terasa berat dan berbobot dibanding dengan diksi-diksi yang
terbilang umum. Dan itu juga akan mempengaruhi dalam menginterpretasikannya
karena bahasa figuratif itu sendiri yang menjadi penghias dalam suatu sajak
atau prosa.
Menurut
om Ben, Klise adalah pilihan
diksi-diksi yang secara umum semua orang mengetahuinya. Bisa dibilang ‘basi’ karena tanpa mencari
penginterpretasian secara tematis pun pembaca sastra tersebut dengan mudah
mengetahui makna yang terkandung dalam karya tersebut. Misalnya, ‘mentari pagi’, ‘senja’, ‘bulan dan bintang’
dan masih banyak lagi pilihan diksi yang tergolong sebagai Klise. Berbeda dengan pilihan diksi yang menggunakan figuratif
bahasa yang lumayan berat untuk dikonsumsi bagi peminat sastra yang terbilang
sebagai pemula.
Tapi
jangan takut dan khawatir dulu. Jika kita tinjau kembali apa maksud dan tujuan
sajak atau prosa itu dibuat salah satunya adalah penyampaian makna kepada
pembaca yang disampaikan dengan kemasan yang menarik oleh penyair sehingga
menjadi warna yang berbeda dalam penyampaiannya. Bisa kita bayangkan jikalau
semua sajak atau prosa selalu menggunakan pilihan diksi yang lumayan berat maka
penyampaian makna dan pengharapan dari panyair mungkin saja tidak tersampaikan
secara utuh, jatuhnya Krik dan tidak
nyambung.
Setidaknya
rasa kekhawatiran bagi peminat sastra yang terhalang oleh si Klise ini bisa terobati dengan pemaparan kang Awang saat diskusi
kecil tentang sastra yang mengatakan bahwa kita tidak boleh takut dengan si Klise ini. Walau bagaimanapun juga
tanpa adanya Klise sajak atau prosa
tidak akan menjadi ramai tanpa adanya perbedaan. Klise atau tidaknya adalah bergantung kepada penginterpretasian
masing-masing dan pengetahuan terhadap diksi yang digunakan dalam karya
tersebut. Misalkan penyair memakai kata ‘kebas’,
mungkin saja kata ‘kebas’ bagi saya
adalah diksi yang tergolong Klise
tetapi tidak dengan oranglain yang belum pernah mendengar kata tersebut
terlebih tidak mengetahui makna dari kata tersebut.
Jadi
teruskanlah berkarya tanpa harus memikirkan Klise
atau tidaknya karena sampai sekarangpun sajak atau prosa itu mempunyai
pengertian yang hampir sama atau bahkan mereka memang sama, bisa dikatakan
seperti sinonim. Lanjutkan apresiasi dan minat sastra dengan semangat! Semoga
bermanfaat.
Di
Si Penulis J