- Back to Home »
- Opini »
- Jilboobs Sebagai Ekspresi Seni: Diyon Prayudi
Posted by : Diyon Prayudi
Sabtu, 11 April 2015
Fashion
Style merupakan kebutuhan kebanyakan orang di era modern
saat ini termasuk dalam berbusana. Tentunya dengan memakai busana seseorang
akan merasakan percaya diri dan lebih berani untuk mengekspos diri untuk tampil
di depan umum. Siapa sih yang tidak ingin tampil baik di depan umum? Mungkin
tidak ada satupun yang mengatakan ‘saya tidak ingin tampil baik di depan umum’
atau bahkan orang ‘bodoh’ sekalipun.
Berbicara busana
tentunya tidak akan luput dari bagaimana caranya berpakaian dengan baik dan
benar sehingga terlihat dan memiliki kesan tertentu bagi siapa saja yang
memandang, entah penilaian itu berdasarkan kategori unik atau menarik. Belum
lagi bagaimana cara memilih busana, kemudian banyaknya artikel-artikel yang
memaparkan bagaimana cara ber-fashionable dengan baik yang dengan mudah kita
akses melalui gadget atau perangkat
lainnya. Yah! Benar sekali! Perangkat lainnya seperti aksesoris sebagai
pelengkap dan beberapa pendukung lainnya seperti sepatu dan tas. Dan hal
tersebut masih dalam kategori unik dan menarik saja, belum tentu bisa dikatakan
sebagai hal yang benar atau salah, apalagi ini berbicara tentang fashion yang setiap pribadi memiliki hak
dalam mengekspos diri masing-masing.
Kemudian berpakaian
yang baik pun belum tentu baik dalam kaca mata orang lain. Jika kita berbicara tentang
kebaikan, ini akan berbicara seperti halnya dalam sebuah teori filsafat dari
tokoh Plato: manusia berada dalam dua dunia, yaitu dunia pengalaman yang
bersifat tidak tetap, bermacam-macam dan berubah. Sedangkan dunia ide bersifat
tetap, hanya satu macam, dan tidak berubah. Dalam teori Plato selalu ada dua
sisi seperti kaca mata, selalu ada yang berlawanan seperti halnya pria dan
wanita berdasarkan gender (kelamin).
Demikian halnya dengan fashion style,
khususnya dalam berbusana.
Denga kata lain,
berdasarkan teori Plato dalam berbusana pun memiliki perbedaan yang
seminimalnya memiliki dua perbedaan seperti halnya dua sisi mata uang. Misal,
cara berpakaian pria tentunya berbeda dengan wanita, anak-anak berbeda dengan
remaja dan dewasa. Dalam konteks yang minim seperti itu pun begitu terlihat
perbedaan yang nyata. Belum lagi jika berbicara lebih jauh yang menyangkut
latar belakang budaya dan kebiasaan. Seperti yang kita ketahui adanya Budaya
Barat dan Budaya Timur yang selalu bertolak belakang. Belum lagi jika kita
sangkut pautkan dalam wilayah agama.
Dalam konteks berbusana
tentunya kaum wanita lebih rumit daripada pria. Apalagi bagi wanita beragama
islam yang harus memakai ‘hijab’ dan menutup seluruh aurat kecuali muka dan
telapak tangan. Bayangkan betapa rumitnya berbusana bagi wanita beragama islam?
Sedangkan tujuan dari ber-fashionable itu sendiri adalah untuk mengekspos diri
agar tampil di depan umum seunik dan semenarik mungkin. Lalu di manakah bagian
uniknya jika yang terlihat hanya bagian muka dan telapak tangan dan hanya
terlihat sosok yang mengenakan jubah begitu rapat? Lagi-lagi jika berbicara
dalam konteks kebudayaan dan agama, tentu saja hal demikian benar berdasarkan
Islam.
Kendati demikian, tidak
bagi kebanyakan wanita beragama islam di era yang modern ini, zaman yang
tercemar oleh kebudayaan barat menjadi salah persepsi dalam pengunaan ‘hijab’
ketika ber-fashionable atau ber-fashion style. Kesalahan persepsi dalam
penggunaan hijab adalah style dalam
berhijab atau lebih dikenal ‘Jilboobs’ dan fenomena unik dan menarik ini kian
marak kisaran tahun 2013 hingga saat ini. Jilboobs sendiri memiliki pengertian
seorang wanita muslim yang memakai hijab namun masih terlihat jelas dadanya
hingga nampak ke permukaan dan kemudian disebut sebagai ‘Jilboobers’. Memang
secara kasat mata terlihat seperti menutup aurat karena bagian rambut dari
seorang wanita tidak terlihat oleh lawan jenis maupun sejenis. Namun kesalahan
persepsi dalam berbusana ini lahir merujuk kepada kebudayaan barat yang
terbilang ‘seksi’ dan itu dibenarkan, dalam kebudayaan barat yang mayoritas
beragama non-islam.
Saya teringat dengan pernyataan
dari seorang wanita yang telah saya wawancarai sekitar September 2014, Bella
Chintia (20) di gedung LC Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
lantai 4. “Kalo menurut gue, fenomena Jilboobers itu memang agak bikin risih
juga, ya meskipun kita sesama jenis” kata Bella.
Memang benar sekali
pernyataan Bella saat diwawancarai, kebanyakan dari wanita beragama islam yang
taat dengan kaidah-kaidah agama tentunya akan merasa tidak nyaman dengan
kelahiran Jilboobers dewasa ini karena tentunya mereka tidak ingin disamakan
sebagai Jiboobers, karena mereka tergolong dalam spesies yang sama, wanita.
Lalu bagaimana dengan tanggapan seorang pria?
Apakah memiliki ketidaknyamanan
yang sama seperti halnya Bella?
Untuk mendapatkan sample yang lebih mengenai fenomena
Jilboobers ini saya mengajukan pertanyaan kepada dua orang laki-laki. Orang
pertama menjawab bahwa dia lebih senang dengan wanita yang berpakaian seksi
sekalipun beragama islam dengan alasan tidak mempermainkan agama dengan menjadi
Jilboobers. Orang kedua menjawab bahwa dia lebih tertarik kepada Jilboobers
daripada wanita berpakaian seksi dengan alasan lebih tertantang.
Dengan kata lain, saya
dapat menyimpulkan bahwa memang benar fenomena Jilboobers ini tergolong unik
dan menarik berdasarkan beberapa pernyataan setelah wawancara karena berbusana (fashion
style) sesungguhnya adalah bagaimana berpenampilan menarik dan memiliki
keindahan serta estetika dalam berpakaian, tentunya ini berbicara tentang
kreatifitas. Ini sama halnya dengan sastra berdasarkan teori Rene Wellek dalam buku Teori Kesusastraan:
sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni.
Kegiatan kreatif
seseorang bisa dikatakan sebagai seni, saya sepakat dengan itu karena seni itu
adalah kreatifitas seseorang termasuk seni dalam berbusana termasuk fenomena Jilboobers.
Dalam fenomena Jilboobs, di sana ada kegiatan kreatifitas yang dilakukan oleh
Jilboobers sehingga lahirnya seni dalam berhijab. Hal ini didukung oleh
pernyataan “memang benar berhijab merupakan seni, tetapi bukan sastra, Reza
(Dosen SI) pada diskusi Sastra Islam, Rabu/04/12/14.
Dan saya pun sepakat
dengan hal itu. Memang benar Jilboobers bukanlah sastra melainkan seni yang
merupakan bagian dari sastra dan Jilboobs itu ‘seni yang salah’ berdasarkan
pernyataan Dian Nurrachman “Sastra itu berakhir menjadi dua, sastra yang
diterima karena kebaikan dan sastra yang ditolak karena keburukan” Classical
Critical Theory pada pertemuan pertama di semester ganjil, 2014.
Memang benar fenomena Jilboobers ini kian marak dan booming kisaran 2013 hingga saat ini. Dan aktivitas berbusana dalam ber-fashion style pun masih tetap berlanjut.